Bunuh diri.

56.4K 2.9K 188
                                    

Langit sedang sangat mendung. Hujan masih belum siap untuk menjatuhkan tetes airnya tatkala melihat gadis di sudut bangunan tertinggi sekolah. Gadis itu memejamkan mata. Menikmati angin kencang. Terasa menyakitkan.

Dengan pelan ia melangkahkan kakinya. Gadis itu belum siap mati sebenarnya, namun mengingat Ibu yang sudah tiada karena ulah kekerasan sang suami, dan juga Ayah yang tak kunjung pulang akibat dikejar depkoleptor membuat gadis itu tak kuat hidup di dunia.

Gadis itu sudah berada di ujung gedung. Selangkah lagi ia akan terjung bebas dan pulang ke hadapannya. Dengan memejamkan mata ia tersenyum. Sambil merentangkan kedua tangan, Ananta berteriak kencang.

"Tuhan, izinkan aku Pulang ya. Aku lelah menghadapi semua ini. Haha, sebentar lagi aku akan pergi kehadapanmu. Aku juga merindukan Ibu. Tuhan, biarkan aku menemui Ibu."

Satu.

Dua.

Tig-

Duk!

Ananta terlonjak. Tubuhnya seakan ditarik kebelakang hingga terpental. Rasanya seperti ada seseorang yang memeluknya dari belakang. Itu terbukti karena dua lengan tangan kini melingkar di tubuhnya.

"Mama, tolong jangan tinggalin Ano."

Sembari menetralkan pernafasannya, Ananta mencoba melepaskan diri dari pelukan seorang tak dikenal itu. Namun semakin di tarik, pelukan itu semakin erat. "Woi! Lepasin woi!"

"Enggak mau Ma! Jangan tinggalin Ano!" teriak orang itu terisak. Ananta terdiam. Tak lagi melawan. Ia malah bingung, Mama? Sejak kapan ia punya anak sebesar ini?

Hei, bahkan dia masih anak berusia 17 tahun yang jomblo dari lahir. Dan sekarang, ada yang menariknya dan memanggilnya dengan sebutan Mama?

Apakah dia anak dari masa depan Ananta?

"Mama kenapa diam aja? Whaaaaaa!! Mama jangan mati!" Teriakan melengking sosok itu membuyarkan lamunan Ananta. Ananta mencoba memberontak lagi. Tapi tenaganya kalah saing dengan sosok itu.

"Woi, lepasin pelukannya! Lo siapa juga, gue bukan Mama mu!" teriak Ananta berusaha melepaskan tubuhnya.

"Mama gak mau ngakuin aku anak ya?! Huwaaaa! Mama jahat!"

Pelukan terlepas. Ananta segera membalikkan badan dan bersungut-sungut. Ditatapnya cowok berseragam sama dengannya sedang menangis tersesak-sesak.

Yang membuat Ananta melongo, cowok itu berwajah mulus kebule-bulean. Sungguh sangat ganteng.

"Mama bengong lagi, kan? Huwaaaa! Mama kenapa!" Cowok itu menggoncang tubuh Ananta, itu membuat Ananta pusing.

"Wei wei stop! Lo apa-apan sih cowok gila!" Bentak Ananta marah. Ia mendorong tubuh cowok itu keras hingga terjatuh. "Jangan ganggu hidup gue! Gue gak suka!"

Cowok itu terdiam. Ia menunduk. Ananta menghembuskan nafas kesal. Ingin melanjutkan acara bunuh diri, mood nya sedang tak baik. Tidak mati sekarang, masalah bakalan rumit. Aih! Ananta pusing sampai-sampai mengacak rambut indahnya.

"Ma- mama, ja-jangan marah," lirih cowok itu pelan. Ananta langsung menoleh ke arah cowok itu. Rupanya, dia menangis sesenggukan. Perasaan bersalah memenuhi kepala Ananta. Tapi egonya berkata bahwa ia tak perlu memikirkan itu.

"Nan-nanti Ano se-sedih," sambung cowok yang menyebut dirinya Ano. Ananta semakin tak tega mendengarnya. Dengan melawan ego, Ananta menghampiri Ano dan berjongkok di samping cowok itu.

"Hei, Ano," sapa Ananta datar, "Please, gue bukan Mama lo. Kita gak pernah kenal sebelumnya. Please, jangan panggil gue Mama. Gue bukan mama lo."

Ano mengangkat wajahnya. Kedua mata berwarna hitam pekat yang mengabur menatap mata coklat gadis itu. Raut mukanya sedih, tapi juga lucu.

"Oke, nama lo siapa?" tanya Ananta mengakhiri halusinasi sinetronnya. Cowok itu menggigit bibir. Dengan lirih ia menjawab, "Agano Saputra."

"Oke," Ananta menepuk bahu Ano keras. "Gue Ananta. Kita berteman deh."

Mata Ano berbinar. Ia tersenyum lebar seperti anak kecil yang di hadiahi permen. "Kalau Ano jadi pacar Ananta, boleh?"

Dan Ananta pun menyesal memberitahu namanya dan mengajak cowok tak dikenal ini berteman.

Childish Boy: first sight. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang