Dua

167 11 0
                                    

Lima puluh tujuh menit dua puluh dua detik. Ia keluar dari kamar. Pandangannya berkunang-kunang. Dahinya terasa berat. Wajah dan kedua tangannya masih basah dan terasa kebas. Tapi ia cukup puas karena akhirnya merasa lumayan bersih.

"Kau ketiduran?"

Matanya mengerjap. Lelaki itu sudah berdiri di ambang pintu depan, dengan setelan yang sama seperti tadi, hanya berganti kemeja. Ia bingung, tidak paham kenapa rahang lelaki itu mengetat seolah menahan emosi. Ia bahkan tak merasa melakukan kesalahan.

"Aku baru selesai mandi," katanya kalem.

Lelaki itu menatapnya lurus seperti menembus bola matanya. "Berapa kali kau menggosok badan? Tiga? Tujuh? Sebelas? Tujuh belas? Berapa kali ini kau mengulangnya?"

Ia memiringkan kepala, bingung. Kendati begitu, jemarinya bergerak menghitung. Lalu mulutnya bersuara dengan suara tenang, "Seingatku tujuh belas. Kotorannya susah dihilangkan."

Lelaki itu terkekeh menatap langit-langit. Ia bisa melihat bibir kehitaman akibat rokok itu menggumamkan sesuatu yang gagal terjangkau indera pendengarannya.

"Kapan kita berangkat?" tanyanya polos.

Lelaki itu menoleh cepat ke arahnya. Terkekeh, lalu berjalan keluar tanpa kata-kata lagi. Ia mengedipkan kedua mata berkali-kali. Tidak mengerti. Memilih ikut keluar. Lelaki itu sudah duduk di atas jok motor matic saat ia sampai di depan rumah. Ia segera mendekat.

"Naik," perintah lelaki itu.

Ia membuka tas, mengambil beberapa lembar tisu dan mengelap jok motor bagian boncengan. Ia lakukan berulang-ulang sampai lelaki itu mendecakkan lidah tapi tak bisa berkata apa pun. Setelah merasa yakin jok itu bersih, ia baru bisa duduk dengan tenang.

Motor bergerak dengan kecepatan sedang, membelah jalanan yang ramai oleh kendaraan beroda dua maupun empat. Ia memejamkan mata rapat, sekilas bayangan sosok gadis berpakaian kotor dan lusuh berjalan tertatih di tepi trotoar berkelebat di benaknya. Tubuhnya terasa panas. Napasnya sesak.

Paru-parunya kembali dihampiri oksigen dengan leluasa saat motor yang ia tumpangi berhenti di depan sebuah restoran kelas menengah. Ia segera melompat turun. Wangi masakan menyeruak ke hidung ketika mereka berjalan beriringan menuju salah satu meja dekat jendela.

Ia diam. Tak menuruti perintah lelaki yang saat ini sudah duduk terlebih dahulu. Justru sorot matanya terarah ke kursi, meneliti dan mengamati dengan jeli seolah ada sesuatu yang mengganggu di permukaan benda dari plastik itu.

"Duduk." Lelaki di depannya kembali bersuara. "Tunggu apa lagi?"

"Ada kotoran," gumamnya pelan.

Tangannya merogoh beberapa lembar tisu dari tas kemudian menggosok-gosokkannya ke permukaan kursi. Seolah sedang membersihkan kaca jendela yang penuh debu, ia melakukannya berulang-ulang. Hampir seperempat isi kotak tisu berukuran sedang ia habiskan hanya untuk membuatnya yakin mendaratkan pantat dengan aman di sana, dan meletakkan kedua tangan di atas meja yang sebelumnya ia perlakukan seperti kursi tadi. Bibirnya tersungging tipis, membalas tatapan datar lelaki itu.

Lelaki di depannya mengangkat tangan, memberi isyatat pada seorang pelayan agar mendekat.

"Bakso beranak dan es jeruk, masing-masing dua."

"Baik. Tunggu sebentar."

Pelayan pergi undur diri. Ia mengatupkan mulut. Kedua telapak tangannya sesekali ia usapkan di tepian rok. Kakinya bergerak tak nyaman. Beberapa pengunjung menyantap pesanan mereka sembari tertawa keras. Tak lama kemudian, sang pelayan datang dan meletakkan dua mangkuk bakso serta dua gelas es jeruk di atas meja.

Ia menatap permukaan meja dengan kerutan di kening. Tangannya bergerak cepat, mengambil selembar tisu dari dalam tas, menggunakannya untuk mengelap sendok yang tergeletak di sebelah mangkuk. Tak menghiraukan sorot penasaran orang-orang di dekatnya, ia terus mengelap benda itu berulang-ulang.

Membuang bekas tisu itu di tempat sampah tak jauh dari kursi tempatnya duduk, ia merogoh sepembar tisu lagi. Mengelap sendok itu lagi. Mengulangnya hingga habis berlembar-lembar.
Sang pelayan yang ternyata masih di situ, terperangah. Ia tak peduli.

Merasa lebih penting untuk menghilangkan sesuatu di sendok dan garpu itu, daripada memedulikan sang pelayan dan beberapa orang yang menatapnya aneh.

"Ran, berhenti!" hardik lelaki itu dengan wajah merah padam.

Ia spontan mendongak. Menatap lelaki itu seolah tidak ada yang salah. "Ini belum bersih," katanya polos.

"Berhenti bersikap tidak sopan. Buang tisu itu!" perintah lelaki itu.

"Tapi aku baru sampai angka enam. Tinggal sekali lagi," jawabnya.

Lelaki itu menggeram. "Kubilang, buang!"

Sang pelayan bergegas pergi. Beberapa pengunjung masih memperhatikan dengan raut penasaran yang kentara. Lelaki itu mengepalkan kedua tangan hingga buku-buku jarinya memutih.

"Ini kotor. Aku tidak bisa makan dengan sendok kot-"

"Tidak ada yang kotor, Kiran!" potong lelaki itu dengan nada tinggi.

Beberapa pengunjung di dekat mereka terlonjak. Ia juga ikut terkejut. Lelaki itu menatapnya tajam, sebelum beranjak berdiri.

"Kita pulang. Nafsu makanku sudah hilang."

Ia tidak mengerti kenapa matanya memanas melihat lelaki itu meletakkan selembar uang berwarna biru di atas meja sebelum berjalan keluar bahkan tanpa mengajaknya. Sama seperti tidak mengertinya ia, kenapa lelaki itu marah hanya karena ia membersihkan sendok dan garpu itu.

Ia hanya tidak mau kotor. Tidak akan ada yang mau berteman dan dekat dengannya jika ia kotor, bukan?

***

Lanjutannya di pdf ya 😁 Kalau mau baca, kalian bisa chat aku ke nomor WhatsApp 081215662514. Harga cuma 3k, bisa bayar pakai pulsa. Thank you udah mampir 😊

Ritual Angka GanjilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang