Epilog

1.3K 43 0
                                    

Semuanya pun berubah.

Dua buntalan manis nan menggemaskan itu, berlari-lari dari arah kamar dengan balutan onesie bergambar kelinci. Dua gigi yang baru tumbuh itu terpampang jelas tatkala tungkai kaki mereka berlari. Si sulung melangkah cepat sembari memainkan tangannya di udara, sedang si bungsu lebih memilih berlari santai sambil tertawa-tawa riang. 

"Wah-wah, jagoan-jagoan Ayah sudah pada mandi, ya. Ih! Wangi sekali," ujar Panji meraih si bungsu dan menyatukan ujung hidungnya serta ujung hidung putra kecilnya gemas.

Suara tawa menggemaskan khas anak bayi menguar ke udara membuat gendang telinga Panji seketika gemas, dan makin menoel-noelkan ujung hidungnya pada bayi mungilnya.

"Ayah, Ayah. Ayo kita pergi ke pantai Kota. Kakak mau buat rumah pasir lagi. Ayo, Ayah!" seru si sulung, sembari menarik ujung baju Panji.

"Ini masih siang, sayang. Nanti sore, ya kita ke sana," ujar Panji kemudian, dan kembali bergulat bersama si bungsu dengan gemas.

Azka yang merasa diangguri, lantas mengerucutkan bibir mungilnya dengan tatapan sedih. Tak lama muncullah Fatimah dari balik dapur dengan nampan yang sudah diisi oleh setoples kue dan minuman dingin.

"Eh, kakak ko cemberut begitu?" tanya Fatimah pada putra sulungnya yang sudah memojok di kursi.

"Ayah tidak peduli sama Kakak. Ayah lebih sayang adik!" sungutnya lantas bersidekap membuat Fatimah malah terkekeh, kemudian meraih si sulung ke pelukannya.

"Kalau Ayah sayangnya sama adik, kan masih ada Ibu yang sayang sama kakak"

Azka lantas memeluk Ibunya erat dan melirik ke arah Ayahnya yang semakin heboh saja dengan adiknya.

Menyebalkan sekali!

***

Udara sore begitu sejuk menerpa daksa-daksa manusia di pinggir pantai Kota. Semua orang tampak menikmati deburan ombak dan suara-suara burung yang mengepak di atas pantai dengan gembira. Pohon-pohon ikut bergoyang-goyang mengikuti hembusan angin. 

"Ayah! sini. Rumah pasir Kakak sudah jadi!" teriak Azka kecil yang berada di bibir pantai dengan tangan yang sudah berlumuran pasir.

Panji yang melihat itu lantas mendekati putranya dengan seulas senyum lembut, kemudian berjongkok melihat karya si sulung membangun rumah cantik dari pasir.

"Masya Allah, bagus sekali rumahnya. Kakak belajar dari mana buat rumah seperti ini?" puji Panji sembari menatap hazel milik putranya bahagia.

"Belajar sendiri, Ayah. Bagus kan?"

Panji mengedipkan mata, lantas mengacungkan jempol mantap membuat Azka kecil bahagia.

Dilain tempat, Fatimah begitu asik bermain-main air dengan si bungsu, Fatih. Fatih kecil sudah berjongkok dengan dua gigi kecil tampak menggemaskan itu. Fatimah menoel ujung hidung putra bungsunya dengan sesekali mencubit pipinya dengan kekehan bahagia.

"Anak sholeh, anak Ibu sama Ayah," ujar Fatimah mengangkat Fatih kecil sambil mencium-cium pipinya dengan gemas membuat Fatih kecil tertawa-tawa.

Panji memperhatikan dari jauh istri dan anaknya yang bergulat riang, dan ia lantas tersenyum di sela legahnya hatinya. Semuanya benar-benar merubah sekarang dan bahkan jauh lebih hidup dari sebelumnya. Panji benar-benar mensyukuri semuanya di samping rasa bersalah yang masih melekat dalam jiwanya sampai detik ini. Kesalahan-kesalahan masa lalunya masih bergulung-gulung dalam dirinya tatkala menatap iris legam istrinya yang penuh kesabaran itu. 

Melody Embara (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang