Di sini lah Eric sekarang, rumah Ryan. Mungkin memang tidak sopan dan tidak aman meninggalkan kedua sepupu di rumah. Apalagi salah satunya adalah tersangka penyebab teror belakangan ini. Tapi mau bagaimana lagi, lebih tidak aman berbincang di rumah yang setiap hari pasti selalu diawasi oleh orang asing.
Tadi saat mereka sedang mengobrol, seseorang mengintip di sebelah barat rumah Eric. Entah kenapa harus selalu barat. Bahkan Ryan bilang, kucing yang mati waktu itu dikubur di bawah pohon di halaman Eric yang berada di sebelah barat.
Tidak mungkin kan karena pelakunya penggemar lagu barat?
Yang dilakukan Eric sekarang bisa disebut pelarian. Karena pasti nanti saat pulang ia akan sangat takut. Takut akan apa yang mungkin terjadi padanya saat perjalanan pulang. Bisa saja kan si pelaku mengikutinya hingga rumah Ryan?
"Kalo lo, Ric, ada kejadian aneh gak belakangan ini?" tanya Ryan kemudian meminum tehnya.
Eric kembali berpikir. "Dua atau tiga hari yang lalu gue terbangun tengah malam gara-gara nyium bau anyir itu ampe gue pusing, terus entah siapa memukul kepala gue ampe pingsan."
Ryan manggut-manggut sambil menumpukan dagunya di salah satu telapak tangannya.
"Itu aja?"
"Seinget gue, sih, segitu aja."
"Ric, gue punya saran," ujar Ryan.
"Apa?"
"Gimana kalo gue nyuruh temen gue-dia indigo juga-buat ngamatin rumah lo?"
"Kenapa harus dia?"
"Ck, dia itu bakat indra keenamnya lebih peka daripada gue, Ric."
"Terus apa bedanya?"
"Bisa jadi dia nemuin hal yang lebih daripada gue."
Eric terlihat berpikir.
"Boleh deh, tapi-" Eric menggantungkan kata-katanya.
"Tapi?"
"Mungkin sepupu gue emang tersangka, tapi jangan sakiti dia, ya?"
Ryan mengangguk. "Oke."
"Tante," panggil Zein.
"Iya, sayang?" jawab ibu yang sedang membaca majalah resep di ruang tamu.
"Malam ini boleh nggak aku yang masak?" pinta Zein ragu-ragu.
"Boleh aja kok asal kamu bisa," jawab ibu mempersilakan.
Zein tersenyum senang.
"Emang lo bisa masak?" ledek Zein merendahkan.
"Masak air," jawab Zain lalu disusul oleh tawanya dan Eric.
"Liat aja nanti," kata Zein sambil mengangkat dagu. "Kalo nanti berhasil, kalian berdua harus traktir aku es krim masing-masing sepuluh bungkus."
"Eh, anjir, mau gendut lo?" tanya Eric sambil memasang wajah heran.
"Biarin."
Benar saja apa yang dikatakan Zein tadi sore, ia akan masak untuk makan malam. Entah tersambar apa hingga ia ingin melakukannya. Lihat saja dirinya sekarang, sudah siap dengan bahan-bahan di meja dapur dan ia sendiri telah mengenakan apron seperti koki-koki di televisi.
"Gileee gaya lo!" ledek Eric sambil memukul bahu Zein. "Yang enak ya masaknya."
"Siap bos, akan gue buktiin kalo masakan gue enak kayak Chef Juna," kelakar Zein.
Lalu mereka berdua pun tertawa.
"Gue ke kamar dulu, ya, chef," kata Eric sambil menepuk pundak Zein. "Jangan meracuni masakannya, ya." Lalu ia pun meninggalkan Zein seorang diri di dapur.
Sengaja Eric mengatakan "jangan meracuni masakannya". Itu seperti-peringatan mungkin. Ketika Eric melangkah ke kamar, diam-diam ia tersenyum miring.
Room Chat
Ryan|ric gue udah minta bantuan temen gue
|lo juga harus hati-hati sama omongan dan tindakan sepupu lo
|maaf ya ricOke makasih ry|
Maaf juga ngerepotin|
ReadYang Eric lakukan saat ini adalah berpikir, berpikir, dan berpikir. Kalau terlalu sering begini, bisa-bisa ia cepat tua pada usianya yang masih belia—aw.
Etic mencoba menghubungkan kejadian-kejadian sebelumnya yang ia alami.
"Sejak kapan ya kejadian ini?" Eric bermonolog. "Ketika ayah keluar kota."
Ia terus mengingat-ingat hal ganjil yang terjadi setelah ayahnya pergi ke luar kota untuk liburan bersama rekan sekantornya.
"Tunggu!" Eric tiba-tiba mengingat sesuatu. "Waktu itu gue ketemu Zein kan di minimarket? Apa jangan-jangan—"
"Eric, makanannya udah matang~" tiba-tiba kepala Zein muncul di daun pintu.
"Ah, iya, gue turun bentar lagi," kata Eric memberitahu.
"—jangan-jangan Zein habis dari rumah gue?"
|Beside The House|
Voment ya kawan:)
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔️] ʙᴇsɪᴅᴇ ᴛʜᴇ ʜᴏᴜsᴇ
Mystery / Thriller[[COMPLETED]] "Gue selalu nyium bau anyir setiap lewat situ." ©hanshzz, 2020