3

995 35 82
                                    


Perlahan-lahan, Rose memberanikan diri untuk berbalik. "Le... Leon..." ia tergagap menyapa suaminya yang sedang berdiri beberapa langkah darinya.

Leon menyeringai lebar.

Tatapan Rose pelan-pelan semakin turun, dari wajah Leon, ke arah tangan, hingga akhirnya ia dapat melihat dengan jelas benda yang ada dalam genggaman tangan suaminya itu. Sebuah pisau berlumuran darah.

"Apa... Apa kamu yang melakukan ini?" Rose tergagap.

Masih dengan seringai yang begitu lebar, Leon mengangguk.

"Kenapa?" tanya Rose.

Leon tersenyum lembut. "Kau pasti belum melihat kartunya," katanya.

"Apa?" Rose hanya menatap bingung ke arah suaminya.

"Aku menulis kartu ucapan di sana, lihatlah."

Rose masih berdiam diri selama beberapa detik, mencerna maksud suaminya. Ketika ia akhirnya berbalik dan menatap kepala itu lagi, ia menyadari bahwa ada sebuah kartu kecil yang diletakkan menyandar pada leher wanita malang itu. Rose mengambil kartu itu dan membacanya.


Roses are red, violets are blue

I knew she drove you mad, so I killed her for you


Tangan Rose bergetar membaca puisi itu. Puisi yang ditulis dengan tulisan tangan Leon sendiri. Matanya memanas dan perlahan airmata mulai meleleh dari sudut matanya. Tiba-tiba, tanpa diduga oleh Leon, Rose berlari ke arahnya dan menerjangnya. Pisau di tangan Leon jatuh ke lantai ketika tubuh Rose menerjangnya dan Leon dengan sigap memeluk wanita itu.

"Ssstt.. Jangan menangis," kata Leon sambil mengusap-usap belakang kepala istrinya itu.

Rose masih terisak dalam pelukan Leon selama beberapa saat, sebelum akhirnya ia menengadahkan kepalanya dan mereka bertatapan. "Apa itu dia? Selingkuhanmu?" tanya Rose.

"Hmm..." Leon mengangguk.

"Kenapa kamu bunuh dia?" tanya Rose lagi.

"Kok masih tanya? Kan sudah aku tulis tuh di kartunya," jawab Leon. "Aku pusing kalau kamu marah, jadi supaya kamu yakin dan percaya kalau cintaku ini cuma buat kamu, ya aku kasih aja buktinya. Aku rela menyerahkan nyawanya untuk kamu, Sayang," Leon tersenyum lebar.

"Dimana-mana itu orang kalau mau gombal bilangnya mau nyerahin nyawanya sendiri, bukan numbalin nyawa orang lain!" Rose langsung sewot dan mencubit pinggang Leon sekuat tenaga, membuat suaminya itu spontan mengaduh-aduh dan meminta maaf.

"Tapi beneran lho aku melakukan ini untuk kamu. Kalau aku yang mati, apa kamu bahagia? Pasti enggak kan. Kamu pasti nangisin aku berbulan-bulan, atau malah bertahun-tahun. Aku kan cinta sejatimu," Leon malah sesumbar dan membuat Rose mencibir. "Sedangkan kalau dia yang mati, kamu senang kan? Udah nggak ada saingan lagi, dapat menu makan spesial lagi, iya nggak?"

Rose merespon ucapan Leon dengan cemberut, tapi justru membuat Leon berbunga-bunga. Istrinya itu paling manis kalau sedang pura-pura marah. Pura-pura ya, catat!

"Ya iya senang sih, tapi kalau polisi curiga gimana? Ingat, terakhir kali kamu membunuh orang kan polisi hampir saja mencium jejakmu!" Rose menjelaskan kekhawatirannya.

"Makanya jangan suka cemburuan. Kalau kamu nggak cemburuan kan aku nggak perlu membunuh perempuan-perempuan itu untuk membuktikan cintaku."

"Yang benar itu kamu jangan selingkuh terus!!!" Rose langsung mencubit pinggang Leon sekuat-kuatnya.

"Aduh, aduh, udah, Sayang... Sakit banget, Sayang, ampun..." sampai Leon memohon-mohon barulah Rose melepaskan cubitannya.

Setelah mengusap-usap pinggangnya sampai rasa sakitnya berkurang, Leon memegang dagu Rose dan mengarahkannya ke atas agar mereka bertatapan lagi. "Yang aku cintai hanya kamu, Rose, aku bersumpah," katanya tulus. Ia berharap istrinya itu percaya, karena memang itulah yang ia rasakan. Hanya Rose lah cintanya. Cinta sejatinya.

Perlahan-lahan keduanya saling mendekatkan wajah dan berciuman. Ciuman yang lembut dan manis, yang sudah sangat mereka rindukan. Keduanya masih saling menatap mesra beberapa saat setelah mengakhiri ciuman itu.

"Ah..aku tidak sabar mau memakan sup otak besok," Rose tersenyum membayangkan makanan favoritnya.

"Besok lidahnya sekalian dimasak ya, Sayang," Leon berkata seraya menghampiri kulkas. "Ah, aku suka lidahnya," ia bergumam sebelum menutup pintu kulkas. Ketika berbalik, Rose sudah ada di depannya dan menatap tajam. "Maksudku, aku suka lidah. Kau tahu kan aku selalu suka makan lidah," Leon menambahkan dengan gugup.

"Apa kau merindukan saat-saat lidah kalian bersatu? Aku nggak keberatan menyatukan lagi lidah kalian dalam wajan berisi minyak panas..." Rose menyilangkan tangannya di depan dada.

"Hehehe.. Jangan terlalu cemburuan lah, Sayang," Leon tertawa gugup, lalu merangkul istrinya dan mengarahkannya untuk naik ke lantai atas. Ah, punya istri yang sangat pencemburu kadang cukup merepotkan juga. Untung sayang... pikir Leon sambil mengecup puncak kepala istrinya.


Selesai

CemburuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang