LDUM-25

1.5K 137 9
                                    

Andai saja waktu bisa kuputar ke masa di mana aku diusir oleh keluargaku. Ingin rasanya aku memeluk ayah dengan lama sampai aku merasa sesak. Ingin aku katakan bahwa aku sangat mencintainya lebih dari hidupku sendiri, aku menyayanginya lebih dari nyawaku sendiri.

Tapi itu tidak bisa... waktu tidak bisa diputar, dan sekarang aku menyesal tidak melakukan itu.

Dihadapanku ada pusara bertuliskan nama ayahku; Hartama Hutapea. Kubaca berulang kali memang benar itu nama ayahku, oh Allah... aku tahu ini sudah suratan takdirMu, tapi HambaMu ini merasa sangat kehilangan.

"Lo tau Mar, sebelum ayah pergi selamanya, ayah pengen lihat wajah elo, ayah pengen bilang kalau ayah sudah menerima keputusan elo untuk pindah keyakinan."

Aku melihat bang Frans yang berjongkok di sampingku sedang menatap sendu ke pusara ayah.

"Ayah sakit. Sakit jantung, dan penyebab ayah sakit karena elo. Tepat setelah lo pergi, ayah gak sadarkan diri. Begitu diperiksa ternyata ayah terkena serangan jantung. Itulah kenapa gue sekarang benci banget sama lo ... gue pengen lo gak ada di dunia ini lagi! Lo pembawa petaka, Mar! Coba kalau lo gak ambil keputusan konyol lo itu, ayah gak akan pergi, bangsat!"

Ake membelalak kala bang Frans meremas pergelangan tanganku dengan sangat kuat. Tidak cukupkah bang Frans mengata-ngataiku saja, sebenci itukah dirinya?

"Gue pengen lo mati, Marie!" Aku memalingkan wajahku kala tangan bang Frans terangkat. Namun sebuah suara menghentikannya, dan duniaku berhenti kala melihat siapa yang berdiri di hadapanku.

"FRANS!"

Bang Doris dan... bunda.

Bunda... aku ingin memeluk bunda! Aku meronta menghempas tanganku yang dicengkram bang Frans, dan kukuatkan kaki ini untuk berlari ke arah bunda.

Aku sudah dihadapan bunda. Senyuman dan tangis bahagiaku tidak bisa aku tahan. Aku pandangi lamat-lamat wajah wanita yang telah melahirkanku, tidak ada yang berubah, hanya rambut putih sudah menghiasi sebagian.

"Anda siapa?"

Senyumanku hilang berganti kernyitan pada bang Doris yang menanyakan siapa diriku. Segera saja aku menggerakan jariku, karena bang Doris mengerti bahasa isyarat.

Aku Marie. Abang, Marie kangen

"Marie adik saya sudah mati."

"Dan Frans, memukul orang adalah suatu tindak kejahatan dan kebodohan. Saya gak mau ada keluarga saya yang melajukan kebodohan."

Aku menatap bang Frans dan bang Frans menunjukkan senyuman meremehkan, kini aku menatap sendu bang Doris.

Aku Marie! Aku masih hidup! Aku berdiri dihadapan abang sekarang!

"Frans, Doris, ayo kita pulang!"

Bunda. Aku memegang tangan bunda, aku menatap penuh kesedihan ke mata bunda, berharap bunda tidak abai padaku.

"Lepas!"

"Aku bilang lepas!"

Aku menggelang histeris kala bunda menyentak kuat tanganku dan berjalan menjauhiku. Aku tertatih-tatih mengejar bunda, namun tubuhku terhempas ke belakang dan seketika berhadapan dengan bang Frans.

"Lo selain bodoh juga budeg ya! Denger gak?! Mereka gak ngenali elo bisu! Empas lo!"

Aku didorong kuat sampai terjatuh ke tanah, dan hanya bisa menangis tanpa suara serta tanganku menggapai-gapai kala melihat ketiga orang yang aku sayangi sudah tidak terlihat oleh mata.

Sebenci itukah kalian?

***

"Aini kamu kemana saja? Padahal tadi ada kuis, lho. Kamu kan selalu bisa jawab setiap kuis. Naufal juga tadi nanyain."

Luka Di Ujung MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang