"Gak usah khawatir."
Aku menggelengkan kepala, Aidan salah. Sosial media, telepon Adimas tidak aktif sesaat setelah ia tampil dan meninggalkan kami semua. Dan akhirnya kami mendapatkan berita duka.
Sehabis sholat dzuhur, kami sekelas diperbolehkan untuk mendatangi rumah kediaman Adimas. Datang untuk menyemangati Adimas di saat Allah memberi cobaan kepadanya. Kehilangan sosok yang teramat disayang-- sosok ibu, membuat Adimas hancur seutuhnya. Anak laki-laki itu sangat menyayangi sosok ibu yang dipilihnya usai perceraian kedua orangtuanya. Adimas anak yang terlalu manja dan keduanya sudah seperti sepasang sahabat, yang membuatku iri saat masih SD.
Indy terus-terussan memegang punggung tanganku selama perjalanan kami. Kami turut merasakan kesedihan yang mendalam atas berpulangnya bunda Adimas ke pangkuan Allah SWT. Mengapa? Karena ketika mendapat kabar atas meninggalnya beliau, kami lantas teringat begitu kuatnya Adimas. Begitu kuat dan mampu menghadapi cobaan Allah di tiap harinya. Menemani sang ibu ketika pulang sekolah, dan kala kembali ke sekolah menemui kami semua ... tak ada gurat sedih di wajahnya. Sekalipun aku pernah mengatakan, belum. Namun, Adimas memang tidak memperlihatkannya karena enggan membuat kami ikut bersedih untuknya.
Adimas sosok pemimpin yang terbaik untuk kami.
Memasuki daerah komplek perumahan, mobil dan motor bermondar-mandir di sepanjang jalan. Ketika kami kian mendekati rumah berkabung Adimas, kendaraan terparkir dan memenuhi sekitaran rumah almarhumah.
Aku turun bersama Indy dan kedua teman perempuanku lainnya dari mobil Fatima.
Suasana berkabung menyelimuti kami semua. Di langit, awan mendung menutupi teriknya matahari seperti sudah ikut andil mengiringi kesedihan kami yang melayat.
Wali kelas kami, menuntun kami masuk ke rumah Adimas. Aku menghela napas kala tak lagi bisa menahan rasa sedih. Bendera kuning tertancap di pagar rumah Adimas.
Setibanya kami di teras rumah, aku mendapati keluarga Adimas terduduk di depan tubuh yang terbujur kaku, terbungkus oleh kain kafan. Aku mengulum bibir, kepalaku sakit jika harus menahan tangis seperti ini.
Karena menunggu kami diberi kesempatan masuk untuk menjumpai Adimas dan mendoakan almarhumah bundanya, kami pun mengantri untuk masuk-- dituntun oleh wali kelas kami.
Sesampainya kami masuk di ruang tamu dan menunggu giliran memasuki ruang tengah tempat jenazah berada, rasanya sakit mendapati Adimas menangis sejadi-jadinya.
Untuk kedua kalinya setelah pertemuan kami lusa lalu, aku akhirnya mendapati sosok Adimas kembali menangis.
"Gue gak kuat ngeliatnya Del," kata Indy menggelengkan kepala kepadaku.
Usai mendoakan bunda Adimas, teman laki-laki kami memeluk Adimas mencoba menenangkan dan setidaknya memberi rasa semangat pada sahabat kami itu.
"Thanks udah dateng," kata Adimas lemah.
Keluarga Adimas pun mengizinkan kami yang tersisa agar memasuki ruang tengah. Kuhela napas kala mata Adimas yang telah merah, sembab dan membengkak mendapati kehadiranku.
Dan setelah kami dipersilahkan duduk, akhirnya setelah empat tahun lamanya aku pun melihat wajah bunda Adimas yang begitu tenang dan bersih menutup mata di hadapan kami semua.
Aku masih ingat ibu memintaku untuk menjenguk bunda Adimas bersama, dan aku menolaknya. Aku meneteskan air mata spontan karena menyesal tidak melakukannya.
Dan nasehat bunda Adimas ketika aku melukai anak laki-lakinya, semakin membuatku mengeluarkan air mata. Sosok bunda Adimas amat membekas untukku.
Adimas menundukkan wajah menangis tak melihat kami. Kupejamkan mata, menyebut nama Allah, meminta-Nya untuk menempatkan bunda Adimas di surga-Nya yang terbaik. Menghapuskan segala dosa beliau yang sengaja maupun tak sengaja dilakukan. Dan, mendoakan anak yang ditinggalkannya agar kuat dan ikhlas melepas bundanya.
"Kak, bunda udah pergi." Aku menoleh pada sosok anak perempuan yang mengucapkan kalimat begitu menyayat hati kami semua yang ada.
Adimas memeluk anak perempuan itu dan tak berkata apa-apa.
Dan saat itu juga, aku baru tahu jika Adimas punya Adik perempuan.
○●○
Di pemakaman, tempat peristirahatan terakhir beliau, kami bungkam tak dapat berkata apapun kala Adimas turun tangan membantu-- menguburkan bundanya.
Keseluruhan kami semua yang ada meneteskan air mata.
Adimas mencangkul tanah, dan memasukkan tanah-tanah itu di liang kubur almarhumah bundanya. Sembari mengubur, Adimas tak henti-henti mengeluarkan air mata tak bersuara dengan helaan napas yang begitu menyakitkan.
Sebagian teman kelas laki-laki kami, ikut membantu penguburan beliau.
Adik perempuan Adimas, hanya bisa memandang kosong dengan air mata yang terus mengalir sembari memeluk foto almarhumah bunda mereka.
Ketika penguburan telah selesai, doa pun dipanjatkan. Adimas menyirami nisan kayu bundanya dan menaburi permukaan kuburan dengan bunga.
Aku hanya bisa memandang Adimas dengan baju koko putihnya nampak begitu putus asa namun mengikhlaskan kepergian bundanya. Dia sesekali menggelengkan kepala, dan menangis memandang tempat peristirahatan terakhir bundanya.
"Kita gak pamitan sama Adimas dulu?"
Aidan menggeleng. "Biarin dia sendiri dulu bareng keluargnya. Give him space." Kami semua menyetujui Aidan.
Dan kami pun beranjak meninggalkan pemakaman umum. Meninggalkan keramaian yang masih dipadati oleh keluarga dari bunda Adimas.
Mengikuti yang lainnya dari belakang, kusempatkan diri menoleh ke belakang mengecek Adimas.
Dan ternyata dia memandang ke arah kami semua yang sayangnya, pada saat itu hanya aku saja yang menyempatkan diri menoleh ke arahnya berada.
Berhenti sejenak dan membalikkan tubuhku hampir sempurna ke arahnya, dari jauh Adimas tersenyum begitu lembut dan dari yang kutangkap dari bibir anak laki-laki itu ... dia berkata, "makasih."
Aku tersenyum lalu mengangguk dan melanjuti langkah kakiku tuk pergi.
Aku tahu, Engkau memberi cobaan terberat untuk hambamu yang kuat.
•°°°•
Bagian ke-17 akhirnya selesai! Bagian ini, cukup susah aku pikirin. Karena aku ingin membentuk suasana yang benar-benar pas di kehidupan nyata kita semua. Jadi, jika ada kekurangan, mohon dimaafkan, ya? :D. Aku harap bagian kali ini bisa ngebuat kalian semakin bisa merasakan dan memasuki alur cerita ini.
Sekali lagi terima kasih, dan sampai jumpa di bagian ke-18!
To Be Continued....
Nj
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bully and The Victim
Teen FictionAda takdir yang mampu diubah oleh manusia, usaha untuk memperbaiki dirinya dan yang diimpikannya. Bagaimana ketika dulu ia yang terburuk kini menjadi yang terbaik. Bagaimana ketika mimpinya yang cerah tak secerah milikmu. Dan bagaimana ketika ia...