PROLOG [Kasus ketiga]

24 3 0
                                    

Di sebuah tempat terpencil di belakang perkampungan sepi ibukota. Ada gedung tiga lantai yang cukup megah dan tua. Reruntuhan yang berbentuk seperti kastil. Bangunan peninggalan jaman Belanda yang tidak terawat dengan baik. Bagian luar dindingnya berlumut dan terkelupas. Tidak ada yang berani datang ke tempat itu bahkan mereka yang memiliki keberanian besar untuk mencoba mencari tahu. Itu karena siapa yang masuk kesana tidak akan pernah keluar. Tidak ada yang tahu kenapa, tapi itu telah menjadi pembicaraan orang banyak.

Di dalam gedung itu, tidak banyak cahaya yang bisa masuk ke dalam. Namun jika ada yang berani masuk lebih dalam sedikit saja mereka akan tahu itu bukanlah gedung mati yang di tinggalkan. Bukan tempat tinggal hantu atau makhluk supranatural. Selalu ada lampu- lampu kecil menyala di siang dan malam.

Lampu- lampu berwarna kuning seperti lilin yang menyala di sudut- sudut dinding. Terkadang warnanya bahkan berubah menjadi merah atau ungu kebiruan, tergantung bagaimana suasana hati pemimpin sekaligus pengurus tempat itu.

Hari ini warnanya adalah hijau. Tristan yang mengenali tanda itu berjalan agak bersemangat melewati lorong cekung yang bergaya victorian. Lorong yang penuh pahatan sulur dan lukisan simetris yang indah. Biasanya dia akan berjalan lambat menikmati keindahan tempat itu sedikit demi sedikit tapi hari ini tidak. Dia punya tugas yang lebih menyenangkan.

Kasus ke- 33 Tertulis di dalam kertas kecil di tangannya. Dia menaiki tangga melingkar menuju menara, membuka pintu kayu besar yang berada di bagian ujung tangga. Sang raja disini. Penguasa tempat ini akan mengutusnya untuk tugas penting. Untuk mereka yang tidak pantas hidup sebagai manusia.

"Oh, kamu sudah datang." Siluet punggung yang menyambutnya masih membelakangi dari arah jendela.

Tristan mengangguk dengan senyum lebar.

"Apa kamu sudah siap?" Seorang gadis berambut gelap dengan kimono merah darah tengah duduk di kursi kayu, mengiris daging mentah di atas meja kecil sambil bertanya padanya.

"Jade?" Tristan terkejut ternyata bukan hanya sang Raja yang menyambutnya. Ada sekitar empat orang lagi di dalam ruangan dan mereka semua menatapnya dengan ragu.

"Jangan lakukan kesalahan." Anak laki- laki berwajah manis duduk di seberang Jade. Dia hanya duduk bersandar dan memainkan koinnya.

"Berapa perhitunganmu sekarang, Bara? Kurang dari 5?"

"Panggil aku Arion." Anak muda itu melirik ke arah Tristan dengan tajam. " Untukmu aku bertaruh 40. Dan, jangan ingatkan aku dengan nama itu lagi. Itu hanya membuatku muak karena kegagalan seseorang." Anak laki- laki itu menarik senyum jijik pada temannya di seberang yang tengah melahap daging mentah.

Jade hanya memutar mata. Tristan tahu bagi wanita itu, tidak ada yang bisa membuat Jade terganggu. Dia sangat bebas, seperti betapa bebas dia dari sangkarnya sekarang, dari masalalu kelam.

"Kamu harus menyelesaikannya dengan baik. Jika tidak, bukan hanya kaki dan tangan besimu yang berlubang tapi isi kepalamu juga." Wanita sexy yang duduk di sudut mengancam sembari membersihkan pistol.

Tristan hanya tersenyum. Dia tidak takut mati, seperti halnya semua orang di ruangan ini mereka tahu resiko itu akan selalu ada tapi pulang dengan kegagalan adalah hal yang tidak bisa di terima lagi.

"Tenang Carmie. Aku percaya dengannya." Pria yang sejak tadi membelakangi Tristan akhirnya membalik tubuh. Tristan menunduk lagi sebagai tanda hormat. Baginya pria ini lebih dari segalanya, perintahnya, hidupnya dan pujian dari orang ini untuknya adalah sebuah kehormatan.

"Terima Kasih Master."

Wajah pria yang di panggil master tampak tertutupi bayangan dari luar jendela, tapi Tristan tahu dia tengah tersenyum padanya.

Delta7 TeamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang