Tugas pertama sebagai duta. Menanyai siswa mengenai alasan memilih Prime School. Beberapa data sudah dikantongi diantaranya menjadi bagian dari sekolah paling bergengsi, meningkatkan daya saing dan meraih prestasi serta menyiapkan bekal mumpuni demi masa depan nanti. Itulah jawaban dari pelajar laki-laki. Institusi mendadak sepi. Kemana mayoritas murid perempuan pergi. Lalu datanglah sahabat sejatiku "B."
"Watdee kha, Nok,"
"Watdee kha, B. Dimana para siswi ya, aku mau menanyakan sesuatu?"Gadis blasteran Inggris itu tersenyum dan menunjuk hidungnya. Menawarkan diri sebagai responden pertama. Harusnya ketua yang memelopori sekarang malah tak tahu dimana dia sembunyi.
"Baik, apa alasan B belajar di sekolah ini?" memajukan kotak pensil, membayangkan itu adalah microfon.
"Aku ingin bertemu dengan suami setiap hari," kelakar nya.
"Ayolah, jangan bercanda," protes pewarta.
"Ehm. Aku ajak Nok ke suatu tempat yang pasti kamu suka,"
Kawan kental mengajak ke ruang musik. Lebih mirip stadion konser, aku rasa. Bagaimana tidak? Sejauh mata memandang hanya ada kerumunan massa dan suara piano klasik menggema. Hei, remaja putri ada disini. Apa aku ketinggalan lagi?
"B, apa sedang ada acara penting. Kenapa Nok tidak tahu sama sekali?"
"Khun mai roo cing o? Ini salah satu daya tarik yang tidak dimiliki lembaga pendidikan lain. Aku kenalin sama pujaan hati," dia semakin antusias. Menggenggam erat lengan menerobos keramaian. Mungkin karena sang paman. Yang lain jadi memberi jalan.
"Permisi," ucap Bridgette.
Kami berada di depan. Dinding kaca rasanya tak kuat membendung pesona. Aku memahami ungkapan B. Co Chief adalah keistimewaan yang dicari. Pemuda korea berambut hitam, tidak diragukan ketampanan namun melebihi itu personality nya mencerminkan teladan. Sudah menjadi pusat perhatian saat pertama ujian. Ramah dan langsung punya banyak teman. Dia tidak pelit membantu yang lain mengejar pelajaran. Begitu diterima, oppa bagai magnet bagi siapa saja. Menebar senyuman lewat acara amal, menyanyikan lagu dengan suara merdu dan mampu memainkan instrumen terpadu. Tuhan mencintai umatnya. Lalu bagaimana dia mengatasi cobaannya?
Oppa Nuu sudah jadi idola sebelum tampil di layar kaca. Banyak pelajar yang berjuang mati-matian demi bisa berdekatan secara langsung. Terbukti dengan indeks penerimaan murid baru tahun lalu dan tahun ini yang melonjak tinggi. Tentu saja banyak wanita yang mendekati namun belum ada yang bersanding dengannya sampai kini. Dan untuk mengatasi penggemar atau yang mencintai secara over. Senior menanggapi
"Terima kasih sudah menyayangi. Tahukah kamu itu sangat berarti. Nuu ingin meraih mimpi. Bagaimana kalau kita saling mengeksplorasi potensi. Berjodoh atau tidak. Oppa senang bisa jadi memory dalam kehidupan dongsaeng atau Nuna. Jika kamu sedih, ingatlah kamu tidak sendiri,"
Sejauh ini terbukti ampuh. Tidak ada yang berseteru dan pengagum memilih bersatu. Mereka tahu Nuu membalas semua kasih sayang walau hanya ucapan atau sapaan. Jarang lelaki bersikap demikian. Nah, kalau pengganggu satu ini apa bisa ditenangkan?
KREKKKKKH!!! pintu dengan kasar dibuka.
"Nuu, Malhago sip-eo," serang Nisa.
Jemari lentik berhenti menekan tuts piano. Mengenakkan jaket almamater, menyinsing tas ransel dan mencoba menjelaskan pada seseorang yang punya keahlian khusus membikin kesal.
"Ada jadwal pemotretan setelah ini. Menyangkut promosi, silahkan Dongsaeng dan Nok duluan berdiskusi. Aku susul nanti,"
Kakak tingkat ingin pergi dengan tenang tapi tarikan tangan kanan memancing keributan. Wakil ketua menaruh tangan kiri di dada. Isyarat artis multitalenta bahwa ia ingin sendiri saja. Fans berlalu dan Nisa membawa rahasia masa lampau. Video kenakalan yang teramat ingin di lupakan. Kini terpampang di depan mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
DOMINATION
Fiksi PenggemarSelamat datang di " Prime School". Seperti nama yang disematkan, tugas utama mencetak teladan. 3 siswa telah terpilih dengan kualifikasi menawan. Pemimpin kami dipanggil Nisa. Gadis asli Indonesia nan ayu parasnya. Sebagian memuji dia mirip aktris T...