(3) Ditinggal

325 188 282
                                    

Latihan marching band hari ini ditutup dengan pemberian pengarahan oleh Kak Tasya, biasanya yang ngasih pengarahan sebelum pulang itu Kak Anya selaku mayoret, tapi semenjak gue selesai ngejalanin hukuman tadi, gue udah nggak liat Kak Anya lagi, kayaknya sih dia izin buat pulang lebih awal. Setelah selesai latihan, gue langsung mengambil tas dan mengeluarkan handphone, lalu menelepon Razil.

"Nomor yang anda tuju..." cuma suara operator yang gue dengar. Gue ulangi sekali lagi, tapi masih aja sama. Gue ngerasa parno, soalnya tuh anak jarang non aktifin HP-nya.

Gue kemudian inisiatif untuk melihat ke perpustakaan, kan tadi dia bilang bakal nunggu di perpus. Gue mempercepat langkah kaki menuju perpus setelah melihat jam yang melingkar di pergalangan tangan gue menunjukkan pukul 6 sore. Dan ternyata perpustakaan udah digembok, nggak mungkinkan Razil dikurung di dalam.

Gue mencoba untuk menghubungi Razil kembali, tapi tetap aja nggak aktif. Gue kemudian jalan menuju gerbang, karena jujur, gue nggak berani berada di area sekolah jam segini, hawanya jadi udah beda, serius. Gue khawatir sama dia, nggak biasanya dia kayak gini.

Karena hari udah terlalu senja, akhinya gue putuskan untuk pulang menggunakan jasa Go Car. Gue nggak yakin kalau Razil masih ada di sekolah, soalnya udah nggak ada kendaraan di parkiran.

Selama dalam perjalanan pulang, gue terus mencoba untuk menghubungi dia, ngirim pesan via WhatsApp juga udah banyak. Tapi hasilnya nihil, nomornya masih aja nggak aktif, dan WA-nya juga ceklis satu warna abu-abu.

Drrtt... Drrtt...

Handphone di genggaman gue itu bergetar, gue yakin itu pasti Razil.

Kak Anya is calling📞

Yah, ternyata yang nelpon bukan Razil, tapi Kak Anya. Gue bingung sih, tumbenan kakak senior itu nelpon gue, dan akhirnya gue putuskan untuk menekan tombol hijau, mengangkat panggilan itu, agar tanda tanya gue terjawab.

"Hallo Kak?"

"Ze, ini gue,"

Deg.
Itu Razil, itu suara cowok gue, itu suara cowok yang tadi janji bakal nungguin gue latihan. Dan sekarang kenapa dia nelpon gue pakai nomor Kak Anya. Apa mungkin dia kesasar di sekolah, terus ketemu Kak Anya, terus Kak Anya nganterin dia pulang. NGGAK MUNGKIN.

"Lho?" gue bingung harus bereaksi gimana.

"Ze, sorry gue nggak bisa nungguin lo tadi. Lo udah pulang? Gue jemput ya?!"

"Nggak usah." gue lalu menekan tombol merah pada layar handphone gue.

Nyesek aja gitu rasanya. Gue ngawatirin dia, gue kira dia kenapa-kenapa, eh ternyata dia lagi sama senior gue. Gue sebagai ceweknya boleh cemburukan? Gue nggak pernah secemburu ini sebelumnya, tapi karena kali ini sama senior gue, plus dia bohongin gue, jadi sakit hatinya itu complite. Gue mau egois untuk hari ini.

Sampai di rumah, gue langsung nyamperim mama yang lagi masak di dapur. Hari ini gue capek banget rasanya, capek fisik, capek hati juga.

"Hai Ma, masak apa? Zeya bantu ya," gue langsung meletakkan tas di atas salah satu kursi meja makan, lalu menghampiri mama.

"Mandi dulu sana. Biar mama aja yang masak,"

Gue nggak ngejawab, gue cuma berdiri di sampingnya sambil liatin mama masak.

"Kenapa?" tanya mama ke gue. Mama itu paling jago nebak perasaan gue. Dia seolah tau aja semua yang gue rasain.

"Zeya capek Ma," itu jawaban gue yang gue rasa las banget ngegambarin situasi keadaan gue hari ini. Gue memeluk mama dari samping, bersandar di bahunya, dan lelah gue luruh begitu saja.

About ZeyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang