Mendung pagi itu cukup untuk mendeskripsikan perasaan Aira. Kemarin adalah hari ulang tahun Dita dan Aira sama sekali lupa akan hal itu. Padahal malamnya, sebelum belajar mati-matian untuk ulangan, ia dan Karin sudah mempersiapkan surprise sepulang sekolah. Hanya saja, sejak terlambat hingga jam pelajaran usai, pikiran Aira sama sekali tidak fokus. Ia baru menyadari ketika melihat ponselnya dan mendapati tumpukkan notifikasi dari Karin, di rumah. Yang Aira lakukan adalah kembali ke sekolah dengan masih mengenakan seragam yang sudah acak-acakan. Tepat seperti lima puluh persen dugaannya, mereka sudah tidak ada di sana.
"Pagi-pagi udah kusut aja mukanya."
Aira terlonjak, senyumnya kontan mengembang mendengar suara yang sudah tiga hari tidak didengarnya.
"Andra? Ia mengerjap. Udah sembuh kok nggak bilang?"
Laki-laki itu menggaruk tengkuk. "Karin nggak ngabarin lo?"
Tidak, tentu saja tidak. Aira hanya menanggapi dengan senyum masam. Ia mempercepat langkah ketika semakin dekat dengan kelasnya, menghindari entah apa pertanyaan yang akan Andra lontarkan. Masih dirasakannya tatapan Andra di depan pintu kelasnya, tapi perhatiannya teralihkan oleh Dita dan Karin yang tengah menertawakan perdebatan Dinda dan Asep. Sama sekali tidak menarik perhatian Aira. Mereka berdua hanya meliriknya tanpa menyapa. Pun ketika Aira duduk di belakang mereka seperti kemarin. Apa seharusnya Aira yang menyapa duluan? Meminta maaf mungkin? Atau membiarkan dulu sampai mereka mau berbicara dengan Aira lagi?
"Aira, gue duduk sini, ya?"
Sebuah suara menarik Aira dari lamunannya. Senyum Sitha yang menular membuat Aira menarik kedua ujung bibirnya untuk ikut tersenyum. Boleh.
Pelajaran Biologi pagi itu tidak seperti biasanya. Aira sama sekali tidak berminat untuk mendengar penjelasan dari Bu Tia yang tengah menerangkan tentang struktur dan fungsi sel. Malah sesekali ia menguap karena kantuk yang menyerang. Sitha begitu fokus sehingga mereka tidak mengobrol sedikit pun dan itu menambah kebosanannya hingga bel istirahat.
"Mau ke kantin, nggak, Ra?"
Aira menggeleng pelan. "Duluan aja," gumamnya.
Jam istirahat pertama biasanya dia sangat lapar. Tapi, entah kenapa ia tidak ingin ke mana-mana. Ajakan Sitha untuk bergabung dengan teman-teman lain sehingga setidaknya ia bisa melupakan masalahnya dengan Dita dan Karin ternyata tidak mempan. Maka, ketika kelas kosong, Aira menarik earphone dan memejamkan mata. Hingga ia merasakan pergerakan seseorang duduk di bangku sebelahnya. Mengapa Sitha balik lagi?
"Nggak jadi ke kantin?" tanyanya, masih dengan mata terpejam.
Sitha yang tidak kunjung menjawab membuat pikiran ngawur Aira bekerja.
Ia membuka mata dan alangkah terkejutnya bahwa yang duduk di sebelahnya kini bahkan lebih membuatnya takut daripada hantu mana pun. Berusaha bersikap biasa, Aira kembali bersandar pada tembok dan mengubah posisi duduknya untuk menghadap pada Ervan. Laki-laki itu tidak mungkin tiba-tiba duduk di sebelahnya tanpa ingin membicarakan sesuatu, kan?
"Hubungan lo dan sahabat lo, lagi nggak enak, ya?" tanyanya sambil tetap memainkan ponsel. Ia sama sekali tidak menatap Aira seolah sedang membicarakan sesuatu sambil lalu. Dahi Aira berkerut samar. Ia tahu, semua anak di kelasnyapasti menyadari jika hubungannya dan kedua sahabatnya sedang bermasalah. Hanya saja, belum ada yang benar-benar menegurnya seperti ini.
"Nanti juga baik lagi," sahut Aira, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri.
Ervan hanya mengangguk-angguk. Sejurus kemudian, ia meletakkan siku kanannya di atas meja, menumpukan tangannya sehingga bisa menyangga kepalanya yang kini menoleh ke arah Aira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sketsa Abu-Abu
Fiksi RemajaPagi itu Ervan berpamitan pada teman-teman sekolah. Akhirnya, Aira tidak bisa menahan apa yang dipikirkannya, bahwa betapa pun Aira ingin Ervan tetap tinggal, ia tahu Ervan tetap akan pergi. Start : Maret 2020