- You can't force the sun to love the moon. Because it already loves the moon ever since the beginning -
By: Author
Amara menggigit potongan daging di garpu lalu mengunyah pelan. Matanya memandang rollade yang sudah terpotong di piring. Meski tidak terlalu berselera, Amara memaksakan diri. Ulu hatinya mulai nyeri. Bisa jadi sakit lambungnya kumat. Sesedikit apapun, yang penting perutnya harus diisi.
Menahan nyeri, Amara menundukkan kepala. Tidak berani menatap pria di sebrang meja yang juga sedang menyantap makanannya. Padahal sah-sah saja kalaupun ia terus-menerus memandangi wajah tampan itu. Toh sudah jadi suaminya. Tapi detak jantungnya sedang kacau-balau. Kalau Amara mengijinkan matanya terus-menerus menikmati pemandangan indah itu, bisa jadi ...
Amara tidak berani meneruskan pemikiran dalam kepalanya.
Berbeda dengannya, Arga justru terlihat santai menikmati hidangannya. Sesekali matanya menatap Amara yang sibuk memainkan garpu di piring.
"Kenapa kamu?" tanya Arga memecah keheningan.
"Hm?" Amara berlagak tak acuh.
"Kayak nahan sesuatu."
"Dih! Emangnya apa yang perlu ditahan?" Amara tersenyum kecil. Berusaha menutupi nyerinya.
Arga terkekeh pelan. Sepertinya mood istrinya sudah lebih baik setelah omnya meninggalkan rumah dengan diantar oleh Retha.
"Ehm, jadi hari ini rencananya mau ngapain?" tanya Arga dengan mata bulat yang tetap menatap.
Malas menjawab, Amara hanya mengangkat kedua bahunya, berusaha terlihat tenang di tengah gugupnya.
"Sayang ..."
"Uhuk, uhuk, uhuk!" Butiran nasi di mulut tak sengaja masuk ke tenggorokan. Amara cepat meraih gelas berisi air putih di samping tangannya.
"Uhuk, uhuk!"
Ia berusaha batuk keras untuk mengeluarkan butiran nasi itu.
"Uhuk, uhuk!"
Arga yang merasa bersalah segera bangkit untuk membantunya.
"Kamu, nggak apa-apa? Sayang?"
"Uhuk!"
Tindakan Arga sama sekali tidak membantunya.
"Minum lagi, nih." Arga menyerahkan gelas berisi air putih miliknya.
Amara meraihnya, dan langsung menenggak bulat-bulat hingga habis.
"Ehem! Hem!" Setelah merasa butiran nasi itu keluar melewati tonsil, ia berdeham untuk menjernihkan tenggorokannya.
"Makannya pelan-pelan saja," titah Arga sembari mengusap lembut punggungnya.
"Ehm, ehm! Kamu ngapain, sih?" Amara menjauhkan diri dari Arga dengan berdiri dari kursi. Suaranya masih serak.
"Nolongin kamu," jawabnya polos.
Amara masih sibuk berdeham untuk menormalkan suaranya.
"Tau ah!" dengus Amara sebal, lalu berjalan meninggalkan ruang makan.
"Lho, mau kemana? Makanannya belum habis kan?" panggil Arga sambil berusaha menyejajarkan langkah dengan istrinya.
"Kamar," jawab Amara cepat lalu segera masuk ke dalam lift, meninggalkan Arga yang hanya mematung di depan lift.
Sampai di kamarnya, Amara membanting pintu, bersandar, lalu menarik napas dalam. Berusaha menenangkan jantungnya yang tadi sempat kocar-kacir.
Ternyata begini sensasinya langsung menikah tanpa pacaran. Rasanya seperti hari pertama pacaran. Segalanya serba membuat dag-dig-dug, gugup, tapi bahagianya selangit. Bikin mulut capek karena harus cengar-cengir terus. Belum lagi harus menelan ego bulat-bulat. Sudah nggak boleh gengsi, kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVABILITY (Judul Lama: ADAMANTINE) (REVISI)
RomansDania Amara Rielta yang selalu punya takdir sad-ending dalam hal percintaan, sedang dipepet waktu untuk mencari calon suami. Tidak muluk-muluk pintanya pada Tuhan atas kriteria laki-laki yang akan menjadi jodohnya. Namun siapa sangka Tuhan justru me...