Torment or Threat? (11)

17 3 0
                                    

Leo POV

Aku tidak menyangka bahwa dalang di balik seluruh kejadian yang menimpaku adalah Lemon asem. Sudah berani dia rupanya, mencari mati dengan menantangku seperti ini. Meskipun ia menjadi sok tangguh, dan suara soprano-nya berusaha ia tutup-tutupi, aku tahu pasti bahwa...

Di dalam sana dia bukan apa-apa selain ayam penakut bersuara soprano.

Dan karena bocah ingusan ini, aku sudah kehilangan banyak hal. Aku kehilangan kesempatan untuk menjadi pacar Liz, cewek termanis yang sudah kutaksir sejak jaman batu. Aku pun kehilangan lenganku akibat perjanjian bodohnya dengan makhluk seram itu. Mata dibalas mata, lengan dibalas dengan lengan..., atau mungkin kuakhiri saja hidupnya sekalian dan mengambil Liz sepenuhnya?

Kuayunkan pisau ke arah lehernya sekuat tenaga. Ketika pisau tersebut sampai pada tubuhnya yang kurus kering, sesuatu yang amat tidak masuk akal terjadi. 

KLONTANGG....

Bukannya menebas kepala Lemon menjadi dua, pisau itulah yang terpental ke belakang hingga terbelah dua. 

Tidak mungkin. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?

Tubuhku spontan mengambil jarak perlahan. 

"Kalian bodoh sekali." Lemon menyeletuk sambil tertawa terbahak-bahak. 

Kami hanya bisa menatapnya dengan tatapan horror ketika laki-laki itu tertawa lepas seperti orang gila. Lima menit kemudian, akhirnya ia berhenti, lalu tersenyum. Namun senyumnya jauh berkali-kali lipat lebih buruk. Senyum itu sangat lebar dan tidak manusiawi, seakan mulutnya telah robek hingga ke telinga. 

Senyum itu mengingatkanku pada si Hantu Belanda, dan langsung mengundang jantungku kembali memulai marching band-nya.

"Sudah kuduga." Chris menyeletuk sambil meraih lenganku (Andai saja kami tidak sedang berada di situasi seperti ini, aku pasti sudah menepis tangannya dan mengatainya homo). "LARI!"

Begitu satu kata singkat tersebut meluncur dari mulutnya, kami langsung lari tunggang langgang menyusuri koridor rumah sakit yang entah sejak kapan menjadi sepi dan gelap bagaikan rumah hantu. 

Tadi Liz jadi-jadian, sekarang Raymond jadi-jadian, jangan-jangan Chris di sampingku sebenarnya juga Chris jadi-jadian!?

Dia memang kelihatan lebih transparan dari sebelumnya. Otak logisku membenarkan. 

Kulirik tubuhnya dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan teliti sambil mempertahankan kecepatan lariku, dan sayangnya, otak logisku benar. Aku segera mempercepat lariku, berusaha menjaga jarak dengan Chris yang tengah melotot seperti kesetanan.

"Chris, lo nggak jadi-jadian, kan?" tanyaku memastikan.

Chris semakin melotot, membuat kedua bola matanya seolah hampir copot dari rongganya, membuatku semakin ragu bahwa dia bukan jadi-jadian. 

"Serius lo barusan nanya itu? Kita lagi dikejar pembunuh dan lo masih sempat nanyain itu?" tanyanya dengan nada tinggi.

Aku hanya bisa memaksakan sebuah senyuman awkward ke arahnya sambil mengatakan, "Lo tinggal jawab enggak, kan? Tapi kok lo nggak jawab, jangan-jangan—" "Gue kira yang putus cuma lengen lo, ternyata saraf otak lo juga, ya. NGGAK! Gue nggak jadi-jadian, puas lo?."

"Tapi kok lo kayaknya agak transparan gitu, ya? Perasaan gue doang, atau..." tanyaku masih tidak puas.

"Gue lagi astral projection." sahutnya dengan tampang super bete.

[KUMPULAN CERPEN] Stacy's CursesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang