♪ ♪ ♪
Los Angeles, 22 jam kemudian. Penerbangan dari Jakarta ke Daratan Amerika terasa begitu melelahkan dan menguras tenaga. Berjam-jam semua aktivitas dilakukan dengan posisi duduk, entah untuk makan, menonton film, beribadah, bahkan tidur. Rion merenggangkan tubuhnya untuk melepas tegang pada tubuhnya. Sesekali ia menutup mulut untuk menguap sembari memperhatikan keramaian di sekitar. Teman-teman yang lain sudah berjalan lebih dulu di depannya, sementara Rion hanya mencoba menikmati setiap langkah kaki bersama dosen pembimbing yang sekarang sedang sibuk dengan ponsel pintarnya. Mereka yang terpilih berjumlah 7 orang, dengan 3 diantaranya berasal dari kampus Rion, 2 lainnya berasal dari Universitas Indonesia, dan 2 lagi datang dari Institut besar di Bandung. Sudah saling mengenal sejak kabar terpilihnya mereka.
Rion masih asik melihat kiri kanan, suasana Los Angeles International Airport masih tampak sangat asing untuknya. Ini jelas kali pertama bagi Rion terbang sejauh ini. Meninggalkan bunda dan Aksa ke Yogyakarta saja rasanya sudah berat, dan sekarang mereka harus kuat dipisah oleh benua dengan rentang waktu berbeda. Kemudian Rion memutar ransel yang ia gendong di punggungnya ke arah depan, membuka ritsleting dari kantung bagian yang kecil dimana ia menyimpan ponselnya di sana. Dinyalakannya benda pipih itu, mencari kontak sang bunda untuk memberikan kabar lewat pesan singkat. Rion tidak mau mengganggu bundanya yang barangkali sudah tertidur pulas bersama Aksa.
Ketika sedang serius menunduk mengetik pesan, langkah Rion tiba-tiba dibuat berhenti sebab seseorang muncul secara mendadak di depannya. Adhisti, mahasiswi jurusan hubungan internasional di Universitas Indonesia itu menatap Rion dengan tatapan datar, namun terkesan akan mengucapkan sesuatu. Rion yang sedang memasang raut penuh tanya memilih menunggu saja, tidak mau repot-repot bertanya ada apa.
Adhis nyatanya memang membuka suara, "Lo punya power bank, nggak?" tanyanya sembari menunjukkan ponsel yang sudah mati total. "Power bank gue kayaknya ketinggalan, deh. Gue pinjam bentaran, kok, buat ngabarin nyokap doang. Nanti kalau udah selesai langsung gue balikin lagi." Rion terpaku. Dia tidak pernah berbicara dengan Adhis sebelumnya, sehingga ketika Adhis terlihat begitu santai ketika berbicara, Rion jadi takjub. Tidak heran kalau gadis itu berada di pada bidang hubungan internasional. "Hallo? Rion? Lo dengerin gue, kan?" Adhis mengibaskan tangannya di depan Rion tatkala menyadari kalau pria itu sedang melamun.
"Eh? Punya. Tapi kayaknya di dalem koper." Rion menjawab pertanyaan Adhis dengan gelagapan. Sedang Adhis yang bersikap terlalu santai sampai tidak menyadari sikap Rion, dia hanya terus menatap Rion sembari menggangguk-anggukkan kepalanya.
"Oh gitu, ya?" Rion tidak membiarkan Adhis pergi, dia lantas mengulurkan ponsel miliknya kepada perempuan itu seraya tersenyum. Adhis awalnya terkejut, namun tetap menerima tawaran Rion dan mengambil ponsel milik pria berkemeja biru navy itu. "Gue pinjem sebentar, ya?"
Rion mengangguk, kemudian dilihatnya Adhis sedikit menjauh dan Rion memutuskan untuk menunggu. Dalam diam, Rion memperhatikan Adhis yang sedang memasang raut serius dan mulai meletakkan ponsel Rion di telinganya. Adhis terlihat seperti perempuan baik namun terkesan tidak peduli terhadap sekitar. Dari semua mahasiswa Indonesia yang terpilih, memang hanya Adhis yang tidak pernah muncul di dalam group chat sekalipun sudah diminta. Tetapi ketika mereka semua bertemu seminggu lalu di Yogyakarta dan memulai diskusi formal, Adhis malah berbicara banyak dan membuat banyak kepala menjadi takjub padanya. Penampilannya pun terkesan sederhana. Celana panjang hitam longgar berbahan kaus dengan atasan baju kaus putih stripe hitam. Rambut hitam tebalnya diikat satu ke belakang, kemudian polesan make up tipis yang membuat wajahnya terlihat lebih segar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Like Yesterday
General FictionPART MASIH LENGKAP! "Mungkin, pada dasarnya kita hanya datang untuk kembali berkata hendak pergi. Kamu itu layaknya rasi bintangㅡtidak selamanya terang, tidak selamanya indah. Mungkin sekarang saatnya untuk berkata sudah." Judith Aluna, terkait Ori...