"Mabuhay!"
Pesawat mendarat dengan mulus setelah lepas dari bandara Soekarno-Hatta tiga setengah jam lalu. Aku menghembus napas pelan. Masih ada tiga jam lagi esok pagi untuk sampai ke tujuan. Negeri Anime.
Penumpang berbaris rapi, mulai keluar satu per satu dari pintu depan pesawat. Pramugari bersalam ramah. Mengucapkan sampai jumpa dalam bahasa Filipina kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris. Aku mengangguk pelan. Tersenyum.
Aku berjalan di garbarata. Langit oren masih menyala di balik kaca. Aku mempercepat langkah sampai ke balkon bandara. Hawa panas mengudara. Pendingin ruangan tak ada. Hanyalah kipas-kipas besar yang mengacak-acak rambutku yang cetar tiada tara.
Ini adalah study tour ku dengan para jawara lomba literasi beberapa bulan lalu. Aku ikut lomba menulis cerpen remaja dan berhasil merebut juara satu. Sementara Renti, Fadil dan Roy, mereka menang lomba menulis opini, esai dan artikel. Satu lagi, kecil-kecil cabe rawit, Zen, menang pada lomba cipta puisi yang tidak tahu kalau ia akan membuat perjalanan ini sedikit menyebalkan.
"Zen, kamu saja yang tidur di transit lounge, biarkan kami pergi ke hotel menikmati bathub panas." Aku berceletuk.
"Jahat sekali kak Zikri. Beraninya meninggalkan bocah yang belum genap empat belas tahun ini tidur sendirian di transit longe." Zen mengomel, tidak terima kalau ditinggal sendiri di ruang tunggu transit. Aku tertawa kecil. Renti, Fadil dan Roy juga ikut tertawa. Siapa pula yang tega meninggalkan bocah supel ini disana sendirian.
Aku harus menerima faktanya. Rombongan kami tertahan di ruang tunggu transit bandara hingga keberangkatan esok pagi. Zen penyebabnya. Umurnya yang belum lebih dari empat belas tahun tidak diizinkan petugas untuk melewati imigrasi bandara kecuali jika ia bersama orang tuanya. Alih-alih karena kejadian pemboman di Filipina beberapa hari lalu yang disebut-sebut tersangkanya dari negeri ku. Apa mau dikata. Terpaksa kami harus memilih menetap di ruang tunggu transit. Benar-benar menyebalkan
Aku menghembus napas. Mendengus. Sangat menyebalkan. Sepuluh jam aku harus mendekuk di ruang tunggu bandara ini. Tidak ada kasur. Hanya kursi empuk--yang untuk mendapatkannya pun harus berebut dengan mereka dulu. Terpaksa, aku yang paling besar harus mengalah. Duduk di lantai bukan jadi pilihan lagi. Dan lebih parahnya, kenapa bandara sebesar ini tidak ada wi-fi yang bisa tersambung ke ponselku?! Huh, Seharusnya sekarang aku berada di kasur empuk, menikmati kolam renang hotel atau mencicipi masakan Filipin dengan cita rasanya yang nendang. Tapi semua itu digantikan dengan waktu kosong yang unfaedah ini.
Satu setengah jam berlalu. Aku hanya menghabiskan waktu dengan menggulir layar ponsel dari menu utama ke galeri foto, kemudian keluar dari menu galeri berpindah ke aplikasi kalender, melihat tanggal-tanggal kaleidoskop, kemudian keluar dari aplikasi kalender berpindah ke asisten ponsel, aku bertanya : siapa jodohku? Dia tak menjawab. Game? Aku sudah makan chiken dinner dua kali.
Mataku masing terang. Belum mau tidur. Dan ketika itu masalah baru muncul.
"Zen, ada cemilan tidak?"
Dia tak menjawab. Masih asik dengan gamenya. Wajahnya polos merasa tak bersalah, padahal dia penyebab kami harus mendekuk di ruang ini. Aku malas bertanya dua kali. Hingga akhirnya seseorang yang tidak kukenal datang dari balik pintu ruang tunggu ini. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, wajahnya seperti seumuran denganku, mengenakan pakaian kasual serba coklat, membawa tas ransel. Sepertinya dia juga akan menginap semalam disini. Tapi, eh, dia mendekat ke arahku.
"Malam." Dia menyodorkan tangan. Bersalaman padaku, lantas duduk.
Aku mengangguk. Tersenyum tipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tragedi Ruang Tunggu
Short StoryKau tahu menunggu itu membosakan bukan? Ya, aku juga berpikir begitu. Apalagi teman kecil ini berbuat masalah, tidak mau terkoneksi dengan dunia luar. Apa yang aku harus lakukan? Dan Ternyata, seseorang datang menghibur malam ini. Ya, menghibur.