Bagian 24 - Bagian Berakhir

693 128 35
                                    

Cerita ini mengandung konten kekerasan. Mohon disikapi dengan dewasa ya teman-teman.

"Apakah harus?" Agus kembali bersuara.

Yusrizal mengulum senyum. Kemudian mengangguk dengan pasti. "Aku mengenal Charis dengan baik. Jika kita tidak melakukannya, maka Charis tidak akan menuruti apa yang aku inginkan."

"Tapi, Tuan tahu sendiri bagaimana perangai Setiawan terhadap putrinya," Agus kembali berusaha membantah apa yang diminta Tuan Besar.

Yusrizal melangkah ke arah Agus lalu merapikan letak kerahnya yang bergeser. "Aku memahami ketakutanmu. Tapi aku merasa bahwa, apa yang nantinya akan menimpa Wanda, tidak akan berakibat buruk."

"Dia kriminal," sahut Agus lagi.

Kali ini suara kekehan kecil terdengar, Yusrizal menggeleng, "Singa sekalipun, tidak akan membunuh anaknya untuk dimana Gus," kata dia.

Tapi kita sedang tidak membicarakan singa. Agus ingin mengatakan itu. Tapi tidak bisa. Dia tidak berhak. Satu-satunya yang harus dia lakukan adalah menuruti apa yang dikatakan Yusrizal kepadanya. Memberikan petunjuk kepada Setiawan. Mengenai keberadaan Wanda saat ini.

"Aku ingin memberikan teguran kepada anak sombong seperti Charis.  Bahwa dia tidak patut jatuh cinta. Dia tidak bisa hidup dengan orang yang dicintai. Apapun yang dia lakukan jika sesuai dengan hati, akan membuatnya hancur."

.

Wanda terbangun dari tidurnya. Wajahnya yang tertutup bantal membuat dia tidak bisa menghirup oksigen. Air mata mengering di pipi. Pada akhirnya dia akan tetap terbangun meskipun belum lama tidur.

Mimpi itu begitu nyata. Bagaiamana tubuhnya menerima pukulan demi pukulan yang menyakitkan. Jantungnya berdetak berkali-kali lipat lebih cepat. Sungguh dia ketakutan bahkan hanya sekadar mimpi.

Masa kecilnya berantakan. Dia tidak pernah sekalipun menerima kasih sayang dari sosok ibu. Dia hanya memiliki sosok Papa yang selalu siap dengan sapu di tangab kanan dan gunting di tangan kiri.

Dia meraba dadanya saat semua gambar siksaan yang dilakukan Papa tergambar jelas. Tentu saja. Dia tidak akan pernah siap kembali. Bukan hanya mungkin sang Papa akan memukulnya lagi. Tapi, mengingat apa yang dia lakukan sebelum pergi. Papa mungkin akan membunuhnya hidup-hidup.

Satu hal yang dia syukuri beberapa tahun ini. Papa tidak menemukannya. Dia hidup damai dengan apa yang dia ambil dari sang Papa sebagai modal awal dalam hidup kebebasannya.

Sudah tujuh tahun. Wanda tidak tahu apakah laki-laki itu hidup dengan baik atau sebaliknya. Sekalipun dia tidak akan merindukan sosok lelaki seperti itu. Dan pada akhirnya dia tidak akan pernah kembali.

Tidak ada yang membantunya. Papa menyiksanya terang-terangngan. Semua tetangga mengetahui apa yang dia dapatkan dan apa yang Papa berikan. Dia berkali-kali memakan nasi basi hanya karena Papa tidak membelikan sepiring nasi untuknya. Tidak ada yang berempati padanya bahkan orang-orang yang mengatakan bahwa sungguh malang hidupnya.

Kepergian yang dia lakukan adalah sebuah pilihan yang dia syukuri hingga sekarang. Sebuah prinsip muncul. Bahwa hidup sendiri lebih baik dari apapun. Dan selama itu dia menikmatinya. Dia tidak akan pernah mempercayai siapapun.

Tapi Charis datang. Membawanya ke sebuah dunia baru yang penuh kehangatan. Kasih sayang yang biasanya anak perempuan terima dari Papanya. Akhirnya dia rasakan. Charis memberikannya perhatian yang sangat besar. Dan Wanda terhanyut.

Sialan.

Wanda kembali menangisi apa yang terjadi pada dirinya. Penolakkan yang begitu nyata membuat air matanya menumpuk dan memaksa ingin keluar. Dia menyekap lagi wajahnya hanya untuk meredam tangisan yang begitu keras. Begitu lama dia lakukan. Hingga akhirnya dia memaksa diri untuk berhenti.

A Midsummer Nights Dream ✔Where stories live. Discover now