Satu

36 7 4
                                    


Alyana POV

Dinginnya angin malam menyapa wajahku. Wajah pucat dan mata merah sembab memperburuk penampilanku. Hanya helaan nafas berat yang sedari tadi keluar dari mulutku.

Suasana malam kota ini esok pasti kurindukan. Keputusanku sudah bulat. Aku harus segera menyelesaikan masalah ini. Perasaan ini tak seharusnya ada. Entah sampai kapan rasa ini ada dihatiku, sungguh aku lelah. Mungkin ini yang terbaik untuk menyelamatkan keutuhan keluargaku.

Kuhapus air mata yang masih mengalir dari mataku. Kuarahkan kakiku kekamar mandi untuk mengambil wudhu. Hanya Rabb ku tempatku mengadu semua masalah ini.

Ya Rahman, kuatkan aku, bimbinglah aku dalam setiap langkah yang kuambil, hanya Engkau yang kupunya sekarang. Aku harus pergi jauh dari sini, melupakan semuanya, termasuk perasaan yang tak seharusnya ini. Cukup kau sandaranku sekarang.

Pagi ini, aku telah siap dengan gamis abu-abuku, kupoles wajahku dengan bedak tipis dan lip thin agar terlihat sedikit segar. Kuhela nafas, dan segera mengambil tas selempang dan koperku keluar dari apartemen.

Didalam mobil tak henti-hentinya ku lafalkan shalawat, berharap hatiku menjadi lebih tenang. Segera kukemudikan mobilku ke rumah tujuanku.

Sesampainya didepan gerbang rumahku, pak rahmat, satpam keluargaku membukakan pintu pagar untukku. Kuparkirkan mobilku digarasi rumah ini.

Kuhirup nafas dalam-dalam sebelum kubuka pintu mobil. Rumah ini, tempatku tumbuh selama 24 tahun belakangan, dan sekarang aku akan meninggalkan semuanya, entah kapan aku akan kembali lagi.

Kubuka pintu rumah ini, aroma masakan bunda langsung tercium di hidungku. Kulangkahkan kakiku keruang keluarga, tidak ada seorangpun disana. Kulanjutkan langkahku ke meja makan. Benar saja, disana telah berkumpul papa, bunda, dan kak gibran.

"Pa..." panggilku tercekat menahan tangis

Gibran POV

Semua salah gue, nggak seharusnya gue suka sama adek gue sendiri. Nggak seharusnya dia yang nanggung semua kesalahpahaman ini. Ribuan kilasan memori selama ini seperti menghujam kepala gue, Ya Allah kenapa bisa serumit ini?

Ditengah kekalutan gue, cuma satu hal yang bisa gue lakuin. Gue lihat sekarang udah jam 02.15 pagi, waktu yang pas untuk gue aduin semua masalah ini ke pemilik hidup gue.  Gue langkahkan kaki buat ambil wudhu, sholat malam memang ampuh buat nenangin hati dan pikiran gue. 

Ya Allah, hamba tidak mau menyalahkan fitrah rasa ini yang datang dariMu. Tetapi kenapa harus serumit ini, hamba nggak sanggup melihat keluarga hamba begitu terluka karena perbuatan hamba. Berilah jalan keluar terbaik untuk hamba dan keluarga hamba. Karena hanya padaMu hamba meminta dan memohon.

Pagi ini gue udah siap dengan kemeja yang biasa gue pakai ke kantor. Bagaimanapun juga, gue harus tetep ngejalanin semua rutinitas seperti tidak terjadi apapun dirumah ini.

Setelah gue rasa siap, segera gue ambil tas kerja dan jas yang udah disiapin mama diatas kasur. Gue hembuskan nafas sejenak dan gue lafalakan basmallah sebelum membuka pintu dan memulai aktivitas pagi ini. Berusaha tersenyum seperti biasanya, walaupun ini hanya senyum palsu.

Gue langkahkan kaki gue ke arah tangga, ketika gue melewati pintu kamarnya, rasa bersalah gue muncul lagi. Gue harap dia kembali lagi. Gue turuni tangga dan langsung ke meja makan, disana udah ada papa dan mama yang sudah menunggu gue.

"Pagi ma.. pa.." sapaku pada semua orang yang ada dimeja makan.
"Hmm" balas papa masih fokus dengan koran paginya.
"Pagi sayang" ucap mama manis

Gue lihat kursi sebelah mama kosong, nggak seharusnya kursi itu kosong, gue harap ada keajaiban sehingga gue bisa lihat lagi dia pagi ini.

"Pa..." suara itu membuatku langsung menoleh kearah sumber suara. Dia disini, atau hanya imajinasi saja? Kukedipkan mata bekali-kali dan bayangan itu tidak hilang, berarti itu bukan bayangan, dia benar-benar nyata.

Kisah Aroma Hujan [Alyana&Gibran]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang