Aileen memang sudah menganggap bahwa pertengkarannya dengan Jenny sudah berakhir. Ia menganggap kalau pergengkarannya dengan Jenny itu hanya angin lalu. Merasa wajar karena memang tidak aneh kalau adik kakak itu kerap bertengkar. Adik kakak kandung saja sering bertengkar, apalagi dirinya yang memang tercipta sedikit sekat dikarenakan oleh statusnya dengan Jenny.
Orang juga bilang kok kalau tidak usah gimana-gimana kalau sering bertengkar. Karena pertengkaran itu terkadang malah mempererat sebuah hubungan yang dimiliki oleh kakak dan adik. Apalagi banyak orang yang bilang kalau kakak adik yang berjarak usia dibawah empat tahun itu jarang bertengkar, berbeda dengan yang memiliki jarak usia diatas empat tahun. Nah, Aileen dengan Jenny ini berbeda jarak lima tahun, terpisah status pula. Tapi seharusnya stereotip orang yang berkata seperti itu tidak akan pernah terbukti.
Contohnya saja ya temannya yang sedang duduk dihadapannya ini. Dia bilang kalau dirinya dan adiknya yang berbeda jarak tiga tahun saja masih kerap bertengkar. Itu wajar, dan masalah penyebab mereka bertengkar pun bahkan beragam. Namun kendati begitu, temannya itu bilang walaupun sering bertengkar mereka akan segera akur lagi bahkan dalam hitungan menit atau jam.
Coba bandingkan dengan Aileen dan Jenny.
"Makanya gue juga nggak tahu Re, kenapa Jenny itu kalau abis berantem selalu diemin gue," ujar Aileen. Ekspresinya sendu, karena Aileen memang menyesali hal itu.
"Lo nggak coba tanya ke adek lo gitu, kenapa selalu dia ngediemin lo kalau abis berantem?" Tanya dari temannya malah membuat Aileen menggelengkan kepala. Temannya saja bingung apalagi dirinya.
"Jangankan buat nanya, abis berantem 'tuh dia selalu anggep gue nggak ada. Gue kayak makhluk tak kasat mata. Kalah hantu juga sama gue." Aileen berdecak, dan lawan konversasinya terkekeh. Dipikir apa yang ia ucapkan itu lucu. Padahal Aileen sedang mengatakan fakta. Coba saja Nare itu hidup satu atap dengan Jenny, atau jadi Aileen saja deh sehari, pasti bingung sendiri.
"Gimana ya Lin, mau bilang 'mungkin lagi puber', nyatanya adek lo udah bukan remaja labil yang lagi puber," ujar Nare. Maniknya menatap keatas seolah sedang berpikir. Tak lupa diantara jeda, pemuda bernama Nare itu menyeruput kopi yang sempat dipesannya tadi saat ia tiba di kafe untuk mengerjakan pekerjaannya dengan Aileen. "Tapi dibilang udah dewasa, nyatanya kalau berantem sama lo kayak remaja labil juga. Guenya bingung," tambah Nare.
"Lo aja bingung apalagi gue. Nyokap pun sama." Aileen ikut menyeruput kopinya dan mengambil sesendok kecil kue dihadapannya. Kesal, makanya bawaannya ingin makan makanan manis.
"Udahlah Re, nggak usah dibahas lagi. Selingan aja. Gue juga tadi kelewatan kali, makanya sampe berantem. Efek mau dateng tamu bulanan juga mungkin."
Nare hanya bisa mengangguk paham. Kalau begini sih sudah bukan ranahnya. Ini mah hanya para kaum hawa saja yang paham.
Pada akhirnya kedua sosok tersebut kembali berkutat dengan pekerjaan yang sedang mereka kerjakan saat ini. Bergumul dengan berbagai macam data dan grafik, ditunjukkan dengan banyaknya kertas yang memenuhi meja dengan laptop juga yang ada di pangkuan Aileen. Sedangkan Nare sedang memainkan pulpen dalam genggamannya sembari membaca data dan grafik dalam kertas.
"Lin, ini grafik kok gini ya? Harusnya grafiknya naik tapi kenapa malah turun? Bukannya penjualan kemarin ada peningkatan? Gue jadi ikut bingung nih nyesuaiin anggaran buat bulan depan."
Aileen mendesah pelan. Kepalanya sebenarnya pening kalau sudah disuruh mengurusi urusan pekerjaan dan rancangan anggaran pekerjaan mereka. Karena terkadang, apa yang bukan menjadi jobdesknya pun tetap ia yang diminta mengerjakan. Kalau kata rekannya sih 'si bos seneng sama kerjaan lo Lin, analisa lo sembilan puluh delapan persen selalu tepat, makanya maunya lo yang ngerjain'. Tapi yang benar saja, dirinya bahkan sudah lebih dari cukup mengerjakan jobdesknya sendiri.
"Nah itu yang gue bingungin, Re. Kalau penjualan meningkat, harusnya gue bisa juga naikin anggaran bulan depan. Jadi acara bulan depan bisa ngasih lebih kalau dibanding bulan ini. Tapi grafiknya aja turun. Selera pasar berubah gitu?"
Panjang kali lebar tanggapan Aileen. Mau dipikir dari sisi manapun, Aileen dan Nare kebingungan. Saat dirumah ia dihadapkan dengan masalahnya dengan Jenny, namun ketika diluar rumah ia dihadapkan dengan masalah pekerjaan. Maunya mengeluh tapi nanti dianggap tidak bersyukur.
Terkadang dia suka menyesal kalau ingat, kenapa dulu dia memilih jadi pegawai kantoran ibukota. Kenapa juga dirinya tidak memilih jadi model saja seperti Jenny. Padahal teman-temannya saja bilang kalau wajahnya cukup menjual. Tapi sayangnya dulu ia berpikir pegawai kantoran itu lebih kelihatan kerja ketimbang menjadi model seperti Jenny. Buktinya, Jenny saja lebih banyak menghabiskan waktu dirumah ketimbang diluar rumah. Walaupun ia akui, Jenny kalau sekalinya bekerja penghasilannya mungkin akan sama dengan dirinya yang bekerja fulltime selama satu bulan.
Oke, cukup mengeluh dan menyesalnya. Soalnya Nare menanggapinya dengan berkata, "Makanya. Tapi masa perubahan selera pasarnya signifikan banget. Sampai bisa berpengaruh ke grafik gini." Aileen mengangguk singkat. Secara tidak langsung menyetujuinya.
"Tapi Re, coba lihat lagi datanya. Kadang grafik cuma sekedar grafik. Mending fokus ke data yang sebenarnya. Itu lebih pas buat dijadiin acuan," ujar Aileen.
Terlihat Nare kembali meneliti data yang terpampang dalam beberapa kertas dihadapannya. Hingga pada melanda dua anak adam dan hawa tersebut. Aileen yang sibuk mengetik sesuatu di laptopnya, dan Nare yang masih fokus pada kertas dihadapannya.
Tapi kesibukan mereka sedikit teralihka karena dering ponsel milik pemuda Hadinata. Seketika Nare berdecak ketika mendapati nama adiknya sebagai si penelepon. Aileen hanya diam.
"Apaan?"
" ... "
Aileen yang melihatnya hampir tertawa. Terlihat Nare yang sepertinya sedikit adu argumen dengan adiknya, soalnya nada suaranya tidak mengenakkan. Aileen jadi memikirkan lagi bagaimana hubungan adik kakak, ternyata Nare sama saja dengan dirinya.
Tiga menit Nare habiskan untuk berbicara di telepon dengan adiknya, dan setelahnya ia menghela nafas.
"Lin, kayaknya kita harus pulang sekarang deh," ujar Nare.
"Kenapa, Re?"
"Mobil gue mau dipake Vicky, dia mau pergi. Mobilnya di bengkel."
"Kalau perginya sebentar suruh ambil ke sini aja, gimana Re? Soalnya kerjaan kita 'kan belum selesai," usul Aileen.
"Duh nggak deh. Itu anak kalau minjem mobil nggak tahu diri. Yang ada kita lumutan disini."
"Terus kerjaan kita gimana?"
"By phone aja. Atau video call."
Aileen yang memang hanya menumpang dengan Nare mau tidak mau mengikuti. Meskipun sedikit tidak rela karena Aileen kerap tidak fokus jika menyelesaikan pekerjaan di rumah. Tahu saja, ada adiknya da ibuya. Ia tidak tahu pertolongan apa yang mereka minta jika ia di rumah.
Tak butuh waktu lama. Anak adam dan hawa itu bersegera meninggalkan kafe setelah semua barang dan pekerjaan mereka selesai dirapikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet-Sour
ФанфикHanya cerita pertengkaran yang terjadi antara dua pasang adik kakak, dengan bumbu-bumbu cinta yang tidak begitu manis. ©️ purpuligrum, spring 2020. Cover ©️ HYUNSUKVEVO