And One

113 11 4
                                        

Jeju Island, 2019

-Naeun POV-

Bibi membantuku yang sedang memotong sayuran untuk keperluan besok pagi. Sejak tadi sore aku tidak berkata apa-apa.

“Bibi mengerti perasaanmu terluka karenanya tapi walau bagaimanapun dia tetap cinta pertamamu, kan?” ucap bibi dengan lemah lembut.

“Bibi yakin selama ini dia juga tersiksa harus membohongi dirinya sendiri.”

Aku masih terus diam. Hatiku terluka seolah makin membara jika mengingatnya.

“Bibi yakin kamu bisa memaafkan kesalahannya dengan hati lapang.”

Aku menangis dan memeluk tubuh bibi di hadapanku. Aku tidak tahu harus bagaimana menerima kenyataan yang menyakitkan ini. Aku tidak ingin kehilangannya tapi kemarahan dalam hatiku masih belum bisa aku padamkan.

“Keajaiban akan datang bagi seseorang yang mau membuka pintu maafnya untuk orang lain, terima ini dari ayahmu, tempatmu seharusnya memang bukan di sini.”

“Tiket ke swiss?” tanyaku heran.

“Iya, ayahmu mengajakmu bertemu di Swiss karena dia belum sempat pulang ke Korea.” terang bibi seraya mengelus rambutku.

"Tapi, bagaimana dengan halmonie?”

“Ibu sudah membaik semenjak kedatanganmu, sepertinya dia hanya merindukan cucu jauhnya.”

***

Lucerne, Swiss, 2019

Pemandangan yang ditawarkan oleh negara bernama Swiss ini mampu membuatku terjaga. Dari bus yang melaju pelan, mataku leluasa menikmati keindahan dan merekam setiap detailnya, seperti sebuah video. Pohon cemara bak tentara baris-berbaris, tertata begitu rapi. Tiupan angin yang seakan sedang bercanda dengan daun-daun, memberika sapuan pelan, lalu merunduk hormat saat aku melewatinya. Perasaanku damai seketika. Mungkin ini salah satu sebabnya ayah mengajakku bertemu di negara ini. Swiss pada zaman dahulu tidak pernah terlibat perang, ataupun diserang negara lain. Aura damainya begitu terasa.

Di sepanjang jalan, tampak pengendara sepeda berlalu-lalang. Dengan udara segar yang menerpa, memang rasanya lebih pas menaiki sepeda ke mana-mana dibandingkan mobil pribadi.

Kabut udara menutupi kaca bus. Tanganku bergerak spontan, memberikan sapuan berbentuk hati. Ekspresi rasa hati ini. Arsitektur perumahan seakan berlomba mengguratkan kesan ‘mari tinggallah di sini, dekat dengan alam namun tetap memiliki jiwa yang modern’

Lucerne memang sebuah kota kuno dengan selera tinggi dan modern. Rumah-rumah bersejarah dengan hiasan berupa lukisan dinding berjejer di jalanan, tampak bersinergi tanpa batas dengan gedung Pusat Budaya dan pertemuan ultramodern, bangunan modern yang digunakan sebagai gedung konser sekalgus galeri seni. Paduan yang bagus, bukan?

Dan, sungguh bodoh kalau melewatkan sajian peradaban berkelas tinggi ini dengan tidur. Mataku terus awas menatapi satu per satu pemandangan yang terhampar dari jendela bus.

***   

Mount Titlis, Swiss

Untuk naik ke Mount Titlis, kami (aku dan ayahku) harus naik cable car. Kereta gantung yang juga bisa dijumpai di Korea, ini berukuran 3 kali 4 meter, dan berada di atas ketinggian berpuluh-puluh kaki. Menggantung di seutas kabel saja, mengerikan.

Namun sebagai gantinya, resiko yang membahayakan itu memberikan kami pemandangan yang begitu cerah.

Dari cable car, sejauh mata memandang hamparan lukisan surgawi. Pegunungan yang diselimuti putih salju dan hijau pohon. Puncaknya menyeruak tipis dari gulungan salju tebal, seakan ingin mencoba mencari hangat matahari. Pemandangan itu terlalu indah untuk disebut nyata oleh mataku. 

Destiny✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang