16. Langkah Baru

68 4 5
                                    

Tidak seperti sore-sore yang lalu, sore ini kelabu. Seolah menjadi kebiasaan, Arian segera membuka lebar-lebar jendela ruangannya yang mulai ditutupi rintik hujan. Seketika aroma tanah bercampur air hujan menyeruak ke dalam hidungnya.

Menarik napas dalam-dalam, Arian sejenak menyempatkan diri untuk menikmati suasana sore ini yang secara otomatis teromantisasi dalam benaknya. Laki-laki kurus itu merangkai Jakarta, sore, hujan, dan kopi menjadi damai. Kemudian dia memejamkan mata, sembari memikirkan pekerjaan-pekerjaannya, ide-ide baru, menu makan malam, apapun yang terpikir saat itu juga.

Suara beberapa orang yang berbincang di depan pintunya membawa Arian kembali ke realita. Kerja, ayo kerja, batinnya seolah-olah ucapan tersebut dapat menyuntikkan semangat.

Suara dari dalam kepalanya tersebut berakhir bersamaan dengan ketukan di pintu tersebut. Tanpa menunggu, pintu terbuka pelan. Di sana Aluna berdiri, dengan rambut dikucir sembarangan, kaus putih dengan kemeja biru muda kebesaran, celana jeans yang sobek di bagian lutut, dan tas selempang yang tampaknya berisi tablet dan kertas-kertas miliknya. Aluna sempat ragu untuk masuk, sampai akhirnya dia memberanikan diri untuk mendekat.

“Udah sehat, Lun?”

Sebaris pertanyaan itu terlampau basa-basi, tapi selalu berhasil menciptakan percakapan yang cukup panjang bersama Aluna. Karena Aluna akan segera menggerutu tentang betapa bosannya dia mendengar pertanyaan tersebut dari Arian.

Sekitar dua minggu lalu, Aluna mengambil lima hari jatah cutinya karena harus opname di rumah sakit. Aluna kira dia hanya masuk angin, ternyata keesokan harinya kondisinya memburuk hingga opname dirasa perlu.

“Terus, ini kenapa tiba-tiba ke ruanganku? Bukannya udah mau balik?” tanya Arian ketika menyadari Aluna justru menggelengkan kepala dan terlihat seperti ingin menyampaikan sesuatu padanya.

Wajah Aluna bersemu merah. Ia tiba-tiba menjadi lebih gelisah dari sebelumnya. “A... Aku... Anu....” Demi apapun, Aluna sudah menyiapkan kata-kata untuk hari ini sejak semalam sampai dia tidak bisa tidur, tapi ketika berhadapan dengan Arian, nyalinya tiba-tiba menciut.

“Kamu kenapa?” tanya Arian.

“Ma… mau pulang,” katanya frustrasi. Tangannya memegang tali tasnya dengan erat.

“Ooh. Ya udah?” sahut Arian yang ikut bingung karena tingkah Aluna yang tidak biasa.

Aluna menggaruk lehernya kikuk.

Seharusnya tidak begini.

Maksud kedatangan Aluna sesungguhnya adalah untuk meminta tolong pada Arian. Sekitar dua minggu yang lalu Raka mengirim undangan pernikahannya dengan Ola. Aluna ingin mengajak Arian pergi bersama jika memungkinkan. Tapi untuk mengucapkannya saja Aluna tidak bisa.

“Bukan! Bukan gitu,” tukas Aluna.

“Jadi…?” Arian menanti kelanjutan ucapan Aluna. Dilihatnya gadis itu gelisah menggigiti bibirnya. Tapi kemudian tangannya bergerak merogoh tasnya, ia mengeluarkan sepucuk surat berplastik dan menyerahkannya pada Arian.

“Untuk Aluna dan partner,” bacanya keras-keras setelah menerimanya dan melihat nama yang tertera di halaman depan undangan tersebut.

Sudut bibirnya terangkat samar. Aluna dan partner, Arian mengulangnya dalam hati. Memikirkan bagaimana Aluna mengingat dirinya ketika undangan tersebut ditujukan untuk Aluna dan partner entah kenapa membuat Arian senang.

“Ih, jangan keras-keras,” gerutu Aluna sambil menempelkan telunjuknya di depan bibir dengan ekspresi panik.

Tak mengindahkan Aluna, Arian membuka pembungkus plastik undangan itu dan mengamati setiap detailnya.

Alluring AlunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang