Aku mulai dari awal.
SMA, awal dari semua.
Jadi, waktu SMA gue punya temen, dia.. lumayan ngeselin, alay, lebay, kampret. Bukannya bullying, namun memang kenyataannya. Dan parahnya gue harus bertahan. Ditambah boardingpass yang mungkin bisa dibilang membuat para murid mulai jauh dari keluarga, doa dan hobby.
Sekolah mungkin hanya bilang "kami hanya mendidik murid untuk menjadi lebih baik lagi" namun malah memperburuk. Guru, mempersulit. Teman, saling menindas. Nilai, jadi akhir dari kehidupan kita.
Yang sakit, dibully. Yang sehat, dialem-alem. Yang kurang pintar, dipojokan. Yang pintar, diajarkan lebih. Yang kurang mampu, ditindas. Yang mampu, dibanggakan.
Sekolah karakter? Yakin?
Menjatuhkan orang dan bukan mendidik, itu pendidikan karakter yang benar kah?
Kesel, sangat. Namun, tak bisa berkata-kata lagi.Setiap hari selalu berkata —sabar, kurang 2 tahun lagi— namun, psikologis gue menjerit, serasa ingin pecah.
Menurut lo, rasis ngga? Jahat? Kesel? Atau ilfeel?
Terserah lo sih, semua orang bebas berpendapat. Gue hanya menyampaikan apa yang gue rasakan.Gue gak mau jadi gila karena harus menahan setiap emosi gue. Gue juga gak mau dianggep pentol korek karena harus meledak untuk ngeluapin emosi gue. Nyokap gue bilang, jangan ada kebencian or sakit hati. Kalo pun ada, gue harus ngelepasin itu semua. Susah, banget, tapi gue harus nyoba. Kalo gak nyoba gimana gue bisa maju?
Nangis, setiap hari. Sampai air mata gue abis, mata and hidung gue bengkak dua hari, badan sakit, kepala pusing.. amsyongg
Hal positif harus gue kumandangkan setiap menit di hati dan pikiran gue. Supaya kuat.
Siksaan yang paling ngeselin dan susah menurut gue adalah siksaan psikologis daripada fisik. Psikologis membunuh secara perlahan, fisik tidak.
Manusia jahat, jauh lebih jahat daripada hewan. Hewan jauh lebih punya perasaan daripada manusia. Dan manusia sekarang jauh lebih brutal daripada hewan. Kebalikan, memang. Miris? Sangat.
Dunia mulai diambang akhir. Hal-hal aneh selalu terjadi. Hal-hal yang mustahil pun keluar semua.
Semua hal yang tak masuk diakal, bertentangan dengan hukum alam dan sang Pencipta, terjadi tanpa henti.Banyak yang bilang ini adalah musim akhir bagi dunia. Namun, banyak juga yang bilang ini tak masuk akal. Justru, apa yang tidak masuk akal bagi manusia memang kerap terjadi. Guna, membuktikan bahwa Tuhan itu memang ada bersama kita.
Tuhan, kejam? Iya. Tidak adil? Memang. Namun, kita harus tetap bersyukur karena masih diberikan kesempatan menikmati hidup walaupun pahit. Ketika tidak kuat, berhenti. Bernafas sejenak dan merenggangkan pikiran. Kita.. bukan robot! Kita.. manusia! Berhak bernafas, protes, berbicara, berpendapat dan beristirahat.
Gue sempat kesal, jengkel dan marah —akan hidup gue—, kenapa kesel? Karena semua yang terjadi di hidup gue itu gak mulus dan gampang kek hidup kalian cuy. Kalo boleh nyerah, gue udah nyerah dari dulu. Cuman gue mikir nih, kalo gue nyerah, siapa yang bakal ngebales mereka?
Tetap bertahan walaupun berat. Itu yang gue lakuin. Nyokap? Nyokap gue gak tau apa yang gue rasain, karena.. memang gue gak cerita. Gue pikir, beban ortu gue udah banyak. Karena menurut gue, semua masalahnya ortu gue itu berasal dari gue semua.
Gue gak se-perfect kalian. Gue mungkin gak sepintar, secantik dan setangguh kalian. Tapi—gue—berusaha.
Cerita ini gue buat berdasarkan kejadian-kejadian yang terjadi disekitar gue dan kehidupan gue pribadi. Gak ada yang dilebih-lebihkan, namun mungkin ada yang akan gue kurangi demi privasi.
So.. stop chitchat and start entered to the real story.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hooman trilogi
Non-Fictiontry,rest,cry,stop,run,laugh,slepp and relax. you are not a robot