Kalau sudah begini, Eric tidak bisa tinggal diam kan? Dia harus bergerak lebih cepat. Keadaannya sudah rumit. Tidal mungkin ia santai. Dan mengingat ia diancam akan pembunuhan, tentu saja ia harus segera bertindak.
Jujur saja saat ini Eric belum mampu untuk memergoki Zein dengan sengaja. Karena apapun alasannya, Eric yakin sekali Zein tidak akan menyerah begitu saja. Eric tahu tabiat asli Zein.
Namun masih ada yang mengganjal dalam pikiran Eric kini. Apa alasan seorang Zein yang biasanya ramah dan baik kepada setiap orang ingin membunuh Eric? Apa salahnya? Dan mengapa harus Eric?
Tolonglah Eric berpikir keras, gumam Eric sambil memukul kepalanya.
Pikirannya kemana-mana sejak kemarin. Saat ini ua ingin sekali berenang. Maka ia pergi ke kolam renang di rumahnya.
"Mau ke mana, Ric?" tanya Zain.
"Kolam renang," jawab Eric singkat sambil berlalu.
"Ikut," ujar Zain sambil beranjak. "Zein mau ikut, gak?" ajak Zain.
"Nggak, gue mau nonton televisi aja," ujar Zein.
"Ya udah."
"Ric," panggil Zain.
"Hm?"
"Ibu lo kerja di mana?" tanya Zain sambil menceburkan diri ke kolam. "Ah, segaaarr."
"Sekretaris keuangan negara di Departemen Keuangan," jawab Eric kemudian mencelupkan kepalanya ke dalam kolam.
Zain manggut-manggut. Pantas saja rumahnya kayak istana, gumamnya.
Eric merasakan yang namanya kebebasan ketika sedang berada di kolam renang. Maka itulah kolam renang menjadi tempat favoritnya untuk mengosongkan pikiran.
Aroma air.
Aroma yang ia rindukan.
Tetapi terkadang membuatnya trauma.
Setelah selesai berenang dan mengosongkan pikiran, Eric kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian.
Ketika masuk kamar, ada yang membuatnya tidak nyaman. Apa lagi selain bau itu?
Bau yang selalu datang di saat ia khawatir, Namun kali ini datang di saat ia sudah meringankan beban pikirannya.
Entah ini ulah Zein ataupun wanita itu, Eric paling membencinya. Sebuah aroma yang membuatnya melemah. Jujur saja ia sangat tidak suka aroma seperti ini karena membuat kepalanya pusing dan perutnya mual.
Tapi di saat seperti ini ia tidak bisa menjadi lemah. Karen ancaman akan datang kapan saja.
Jadi yang ia lakukan adalah buru-buru mengganti baju dengan menahan napas srkuat tenaga yang ia miliki. Ia sangat tergesa-gesa hingga dirinya menabrak meja belajarnya. Sehingga alat tulis yang berada di dalam toples pun jatuh berserakan. Dan tentu saja tidak ada waktu untuk membereskan itu semua.
Jadi sebelum bajunya terpakai sempurna ia sudah meraih gagang pintu untuk keluar dari kamar.
Namun sial, pintunya dikunci dari luar.
"Sialan!" teriak Eric dari dalam kamar.
Walaupun ia berusaha berteriak sekeras mungkin, pasti tidak ada yang mendengarnya karena kamarnya kedap suara. Untuk saat ini ia menyesal telah meminta ayahnya untuk memasang kamarnya dengan busa kedap suara.
Dengan sisa kesadaran yang masih ada, Eric berlari ke arah balkon kamarnya dan membuka pintunya lebar-lebar. Ia pun terbatuk dan menghirup udara segar sedalam-dalamnya.
"Zein, bener-bener ya lo," desis Eric dengan geram.
Apa yang harus Eric lakukan? Jawabannya sama : bersabar. Tentu saja hingga saat yang tepat. Entah kapanpun itu.
Tapi hanya satu hal yang ingin ia lakukan sekarang. Benar-benar satu hal.
Bertanya kepada Zain.
Ia sangat ingin bertanya kepada Zain. Karena tidak mungkin ia tidak tahu sama sekali tentang apapun yang dilakukan kembarannya walupun sedikit.
Ia pun berlari menghampiri Zain yang sedang menonton televisi di ruang keluarga.
"Zain!" panggil Eric.
Zain sedikit terlonjak. "Lo bikin kaget aja!"
Eric menengok ke kanan dan kiri. Mencari keberadaan Zein. "Mana Zein?"
"Mandi," jawab Zain singkat.
Bagus, kata Eric dalam hati.
"Zain, gue mau tanya sesuatu," kata Eric sambil duduk di samping Zain.
"Apaan?" tanya Zain masih sambil memfokuskan matanya ke televisi.
"Lo— pasti tau sesuatu, kan, tentang Zein?" tanya Eric tanpa basa-basi.
Zain terpaku, sedikit terkejut dengan pertanyaan Eric. "M-maksud lo?"
"Ck, gue tau pasti lo tau sesuatu, Zain," desak Eric memaksa.
Zain tidak menjawab. Ia menunduk.
"Jawab Zain!" Eric semakin mendesak jawaban dari Zain.
Setelah terdiam cukup lama, akhirnya Zain pun membuka mulutnya.
Ia menghela napas. "Iya, gue tau," jawab Zain pada akhirnya sambil menatap Eric tajam.
Eric terperangah.
"Dan lo juga perlu tau, dia juga berniat buat nyelakain ibu lo juga," lanjut Zain tegas.
|Beside The House|
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔️] ʙᴇsɪᴅᴇ ᴛʜᴇ ʜᴏᴜsᴇ
Mystery / Thriller[[COMPLETED]] "Gue selalu nyium bau anyir setiap lewat situ." ©hanshzz, 2020