Kalau kau telah menemukan sesuatu, dan terpaksa meninggalkannya, akan ada sebuah lubang imajinari yang muncul. Disana rasanya akan terus-menerus dimanfaatkan oleh gaung untuk mereka bermunculan — mereka bilang itu kata hati — tapi oh, mereka tidak mengerti.
‧͙⁺˚*・༓☾ ☽༓・*˚⁺‧͙
Yohan mengernyitkan dahinya untuk kesekian kali, kedua alisnya menukik, sorot matanya bak ingin menerkam jawaban dengan segera, tapi bibirnya masih terkatup tak kooperatif. Ini aneh dan membuatnya ingin tertawa kadang, tapi ia yakin ini adalah hal yang serius.
Pemandangan yang tengah ia pelototi daritadi adalah sesosok Kim Minkyu — yang dari dulu dikenal tak suka lautan, yang dari dulu memendam banyak rasa takut — tengah memerhatikan lepas pantai dengan begitu khidmatnya.
Tentang apa yang Minkyu rasakan, adalah sesak. Seperti tenggelam. Mungkin mirip waktu ia nyaris tenggelam di kala itu. Ia pikir ia bisa saja menjadi gila jika terus seperti ini lama-lama. Kepalanya hanya berisi nama satu orang yang dengan rajinnya ia pikirkan tiap saat.
Ia sudah mencari cara, mencari jawaban di buku-buku di perpustaakan, tetapi tidak ada jawaban yang menurutnya dapat membantu. Sesungguhnya ia perlu tahu, kalau apa yang ia cari tidak akan ditemukan di lembar buku, tetapi ada di bawah sana.
"Hey." Yohan merangkul bahu adiknya itu erat-erat. "Lautnya malam ini bagus, ya?" tanya Yohan lagi, memastikan benar atau tidaknya Minkyu meratapi laut tadi.
Minkyu menarik senyum tipis sementara matanya tetap kosong, "Ya." gumamnya di balik helaan nafas.
Don't you know, after that day, i can't think anything beside you? As if my world has changed.
Sungguh beruntung malam itu dapat Minkyu lewati. Memiliki kakak yang luar biasa aktif dan sangat sangat sangat menyukai lelucon kadang membantunya, Yohan bilang, tertawa itu dapat meringankan sedikit beban hidup.
Kembali ke rutinitas biasanya, Minkyu akan setuju jika kita sebut ini membantunya. Semakin sibuk, semakin baik.
Tapi di tengah grasak-grusuknya menjalankan tugas, persendian kakinya secara otomatis membeku, membuat langkahnya terhenti di detik itu juga, saat ia mendengar isak tangis yang sangat-sangat ia kenal. Terdengar dari siswa yang tengah duduk memeluk lutut di sebelah pintu tempat latihan.
"Hyeongjun?" panggil Minkyu takut-takut, ia tadinya ingin memberi jarak untuk bocah lemon itu (semenjak pertemuannya dengan Hyeongjun dan lemon, Minkyu memutuskan lemon adalah lambang yang tepat untuk anak itu) tapi rasa ingin tahu ini terlalu cepat menguasai tubuhnya.
"Hyung?" Hyeongjun mengangkat kepalanya untuk melihat siapa yang mendekat. Dari kedua manik biru mudanya itu sudah menetes air mata, entah apa alasannya. Hidung kecilnya memerah, mungkin karena terlalu sering diseka.
Selepas memastikan lorong ini kosong dan tidak ada siswa yang bisa mencuri dengar, akhirnya Minkyu bertekuk lutut di hadapan lelaki bermarga Song itu. Rasa khawatir terpancar jelas dari netra karamelnya, dan Song Hyeongjun juga dapat melihat itu.
"Ada apa?" tanyanya.
Hyeongjun malu, sungguh. Ini bukan apa-apa, dan tidak seharusnya ia menangis. Ia hanya tertekan karena kini ia menjadi ketua kelompok tari, dan sayangnya, hasil evaluasi kali ini tidak terlalu bagus.
Tapi Minkyu masih bertekuk lutut, di sana, di hadapannya. Seperti enggan pergi sebelum Hyeongjun menjawab, tapi tidak ingin memeras jawaban.
"Aku.. hanya.. sedih..." Prolog ceritanya dimulai, sebelum akhirnya Hyeongjun menceritakan nyaris semuanya (terkecuali bagian ia tidak sempat sarapan pagi ini karena luar biasa gugup menghadapi evaluasi).
KAMU SEDANG MEMBACA
Serendipity || Minglem/Mingjun
Fanfiction-; ❝ser·en·dip·i·ty❞ (n.) the occurrence and development of events by chance in a happy or beneficial way. ‧͙⁺˚*・༓☾ ☽༓・*˚⁺‧͙ Di dunia ini, manusia terbagi menjadi dua, penduduk laut dan penduduk darat. Song Hyungjun adalah salah satu penduduk laut...