“Maaf, aku tidak mau bahas rindu lagi. Karena masing-masing kita punya kabar yang berbeda. Cukup kamu, sudah mewakili semauku.”
Ruang tamu kembali lengang. Menyisakan bayangan wajah-wajah yang begitu kurindukan. Selesai shalat duhur berjemaah Paman Salman dan Bi Imah pamit untuk pulang setelah ziarah dari beberapa makam ulama di daerahku. Aku menyalami kedua tangan mereka, kuanggap mereka sebagai orang tua kandungku sendiri, bahkan kalau perjodohan ini tidak ada.
Ada sesuatu yang beda kurasakan. Rencanaku, sore ini aku akan kembali ke pondok mengingat kegiatan di sana cukup padat. Astaghfirullah! Bahkan aku lupa bahwa nanti malam ada kegiatan yang harus kuisi. Bukan hanya itu, aku sudah menyetujui segala persyaratan kegiatan dan menanggung semua kebutuhan acara itu.
Ini pasti karena tadi pagi aku buru-buru pulang. Dijemput Paman. Lupa bahwa aku harus menghadiri acara ini dan itu.
Kelebat wajah Wilda langsung mencekik pelupuk mata. Pasti sekarang dia pontang-panting keluar-masuk Kantor Pengurus Pondok Putri. Sibuk menyiapkan acara untuk digelar.
Wilda adalah temanku. Usianya sepantaran denganku. Kami sama-sama bertahan di Pesantren ini. Demi ketaatan kami pada Kyai dan Nyai. Yang kusuka darinya, dia tipikal perempuan yang bisa dipercaya. Maka tak heran jika terjadi sesuatu, aku lebih banyak meluahkan padanya. Dia bisa menjaga rahasia. Lebih dari itu Wilda adalah teman yang tajir. Bisa dikatakan, jika Emak atau Bapak telat mengirimku uang saku, maka perekonomian sementara kugantung padanya.
Di balik itu semua. Wilda adalah spesies makhluk hidup yang gampang panikan. Heboh sana-sini. Maka pelampiasan utamanya adalah mengonsumsi makanan pedas diluar batas. Aku juga sudah berkali-kali bilang mengonsumsi apa pun jika berlebihan maka jatuhnya berakhir tidak baik.
Pernah juga Wilda berseteru dengan pengurus lainnya, masalahnya sepele. Karena mereka berbeda pendapat, Wilda menyatakan pendapatnya untuk mengajukan suatu rencana rihlah, namun dipotong langsung oleh pengurus lainnya. Aku tahu maksud Wilda adalah baik namun itu bukan waktu yang tepat. Akhirnya, berakhirlah Wilda di ranjang puskesmas terdekat dengan tangan tertusuk jarum infus.
Hanya dengan Wilda aku tahu makna persahabatan yang sesungguhnya. Hanya bersama Wilda aku tidak mengingat carut-marut kehidupan di rumah. Hanya karena Winda-lah aku tak berhenti tertawa. Hanya dengan melihat wajahnya saja, teduh terasa tiada tara.
Maka, sore ini aku telah mengecewakannya. Tidak bisa kubayangkan betapa paniknya perempuan penyuka akut K-pop itu. Kuraih ponsel di nakas dekat ranjang. Ku tekan beberpa angka, lima detik selanjutnya nada terhubung ke seberang sana.
“Halo, assalamualaikum, Mbak. Ini saya, Kalina. Bisa tolong carikan Wilda Novarita. Anak blok rayon ‘Aisyah dengan nomor kamar 12A?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Baiat Rindu
Fiksi RemajaBukan. Bukan masalah Cinta yang bertepuk sebelah tangan atau seseorang yang menempatkan hati sembarangan. Kadang Cinta tidak tahu tempat, kadang datang di waktu yang belum tepat. Teka-teki kehidupan yang tidak terlalu rumit namun banyak yang berkata...