A - A L A S A N K U
***
Enam tahun yang lalu. Ketika usiaku baru menginjak 12 tahun, di kelas terakhir masa putih merah yang menyenangkan, sudah banyak sekali pertanyaan yang diajukan padaku. Lebih-lebih, saat mereka semua tahu kalau aku lebih memilih masuk pondok pesantren daripada sekolah negeri atau swasta favorit.
"Masuk ponpes nantinya mau jadi opo to?" Salah seorang teman Bubun bertanya. Waktu itu, semua orang tua siswa datang ke sekolah untuk mengambil rapor di semester terakhir.
"Bagus masuk iki lo, Bu." Wanita bertubuh gemuk di samping Bubun menyodorkan selembar brosur. "Iki sekolah yang bakal Kiano masuki. Fasilitasnya lengkap, guru-gurunya profesional, sekolah juga punya sister di luar negeri," ucapnya menggebu-gebu. Berbeda dengan Bubun yang hanya mengulas sebuah senyum kecil.
"Iki lo, sudah banyak siswa lulusan sini yang lanjut SMA-nya ke luar negeri. Kaya ke Oxford, Havard, Stanfort—"
"E-eh, Bu," potong wanita lain yang rambut hitamnya dibiarkan tergerai sebelum Mama Kiano menyelesaikan kalimat. "Itu ... bukannya nama universitas ya?"
Seketika aku meledakkan tawa. Es krim walls yang sedari tadi kunikmati sembari mendengar celotehan Mama Kiano mendadak muncrat sana sini menodai seragam putih merah yang kukenakan. Sementara Bubun, coba menegurku dan membersihkan sisa es krim yang berceceran.
Aku tahu betul sikapku tak sopan waktu itu. Karena setelah serangan tawa—yang hanya berasal dari diriku sendiri tentunya—kudapati wajah Mama Kiano memerah padam. Entah ia menahan malu atau kesal—atau mungkin kedua-duanya, wanita itu akhirnya pergi tanpa berpamitan pada Bubun dan orang tua siswa lain yang berkumpul di depan kelas.
Lucunya, karena tak mau mendapat omelan panjang dari Bubun di rumah nanti. Aku mengejar wanita yang kini sudah meraih tangan Kiano, berjalan menuju ke arah mobil mereka.
"Tante," panggilku nyaring. Ia langsung berbalik, menatapku dengan sorot sinis dan menusuk. Persis seperti macan lapar yang pernah kutonton di acara televisi.
"Apa?" Nada suaranya terdengar ketus.
Nyaliku sedikit ciut. Tahu sendiri kan, aku hanya anak kecil berumur 12 tahun. Ukuran badan apa lagi tinggiku sangat jauh dari Mama Kiano. Sampai dalam benakku membayangkan, jika salah berkata, Mungkin mamanya akan menduduki badanku hingga tipis seperti keripik kentang.
"Astagfirullah," gumamku ngeri.
"Meda?"
Tubuhku terkesiap begitu Mama Kiano menyebut namaku. Takut-takut, kepalaku mendongak kembali. Menatap bola mata wanita di hadapan sekali lagi.
Bibir ini terasa sulit sekali untuk berkecap, bahkan sekadar menelan ludah saja. Oksigen pun seolah tak mengalir lancar dalam diriku saat itu. Semua orang seakan-akan menatap kami dengan rasa penasaran.
"Ada yang mau Meda sampaikan, Bu." Namun, Bubun yang baru menyusulku menjadi superhero terhebat waktu itu. Ia berjongkok di sampingku, kemudian meniupkan semangat untuk berani mengucapkan kata maaf.
"Yang barusan, Meda minta maaf ya, Tan," ucapku tulus. "Meda tadi reflek tertawa. Nggak ada maksud bikin Tante marah." Rasa hangat menjalar dari tanganku yang Bubun genggam. Disusul belaian lembut di kepala yang tertutup jilbab putih seperut.
Dorongan yang Bubun beri memang terlihat sederhana. Tapi untukku sebagai anak itu sangatlah berarti. Ia kemudian mengambil alih suasana. Mengulang meminta maaf untuk perbuatanku yang tak sopan tadi. Bubun juga berterima kasih karena Mama Kiano mengkhawatirkan pendidikanku yang akan masuk pondok pesantren. Hingga wanita berdress ungu selutut itu pun terlihat melunak.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASA [TERBIT] ✔️
SpiritualBISA DIPESAN DI SHOPEE: lumiere_publishing ******* "Jika roketku berhenti, akankah semua bintang yang kubawa terhempas ke bumi?" Meda pernah memiliki harapan seluas angkasa Ia sudah menyiapkan mimpi hingga prosesnya, runtut seperti rumus matematika ...