{dódeka}

57 15 10
                                    

Apa yang harus ia lakukan sekarang? Bertindak? Atau diam?

"Ke bawah gak, ya?" gumam Eric ragu.

Setelah beberapa saat berpikir, Eric pun memutuskan untuk turun.

"Mau ke mana, Ric, kok buru-buru?" tanya ibu yang sedang menonton televisi.

"Itu tadi pulpen Eric jatoh," bohong Eric sambil menunjuk ke luar.

Namun saat Eric berkata seperti itu, ia melihat perubahan pada wajah Zein. Itu berarti, Zein sudah tahu wanita itu ke sini. Ketika ia sudah berlalu dari ruang keluarga, ia tersenyum sinis.

Segera ia berlari menuju halaman samping rumahnya. Dengan perasaan sedikit was-was dan deg-degan juga.

Akhirnya ia menghentikan larinya dan mengendap-endap sambil mengintip ke samping rumahnya. Dan betapa terkejutnya dia setelah melihat sesuatu yang tidak wajar tergeletak di baliknya.
























"B-bangkai anjing?!"







































































































































































Dengan terburu-buru, ia menelpon Ryan agar mereka bertemu di taman yang berada di dalam komplek perumahan mereka. Dia sendiri sudah berada di taman itu beberapa menit yang lalu.

Tadi setelah ia melihat bangkai anjing itu, sontak langsung berlari ke luar rumah dan pergi menjauhi rumah untuk saat itu.

"Angkat, dong, angkaaatt," gerutu Eric yang teleponnya tidak kunjung diangkat di seberang sana.

Karena kesal, akhirnya Eric memutuskan untuk berhenti menelepon Ryan. Dia menendang batu-batu yang berada di sekitarnya dengan frustasi dan hampir saja membanting ponselnya.

Ehm, ponselnya iPhone X loh.

Takut. Itulah yang Eric rasakan sekarang. Dengan deru napas yang tidak beraturan juga keringat dingin yang mulai bercucuran. Dari tadi ia sering sekali menggigit bibir dan menggertakkan giginya.

Saat ia sedang bingung apa yang akan dilakukannya sekarang, ponselnya berdering. Ia pun mengintip.

Dari ibu.

Dia tidak mengangkatnya. Dia tidak mau ibunya khawatir atau sebagainya. Jadi ia me-reject panggilannya. Tidak peduli ibunya akan kesal atau bagaimana, yang penting ibunya tidak mengetahui kepanikannya sekarang.

Tapi setidak pedulinya Eric, tetap saja ia harus kembali ke rumah. Dengan badan yang masih sedikit gemetar, ia berjalan pulang dengan kaki diseret.

Sungguh. Eric tidak ingin pulang ke rumahnya. Ia takut. Takut suatu hal mengancam nyawanya.

Dengan pikiran yang berat ia masih berjalan untuk pulang. Namun langkahnya lama-lama menjadi pendek karena ketakutan luar biasa yang masih menghantuinya.

"Lo cowok, Ric, gak boleh penakut," batinnya meyakinkan.

Namun tanpa ia sadari, seseorang mengikutinya dan memata-matainya dari jauh.






































"ERIC, AWAS!!" sebuah teriakan menghentikan langkah Eric. Eric menoleh ke sumber suara. Dari jauh, Ryan terlihat berlari ke arahnya dengan sangat cepat.

Ryan sebenarnya mengatakan sesuatu, namun karena Eric sedang bengong jadi ia tidak bisa membaca gerakan mulut Ryan.

Yang ia dengar hanya, "AWAS ERIC DI SAMPING LO!!"

Karena dia melihat raut wajah khawatir Ryan dari kejauhan, ia akhirnya menengok ke samping dan mendapati sebuah benda perak meluncur ke arahnya.

Mata awas Eric mengenali benda itu adalah peluru. Dengan sigap, ia menunduk dan peluru pun melesat 10 cm di atas kepalanya. Peluru pun menembus pohon yang berada di samping Eric.

Ia menganga. Lebar sekali.

Kemudian ia menoleh ke arah peluru tadi berasal. Seorang wanita menatapnya penuh kebencian dan pergi begitu saja.

"Lo gak apa-apa, Ric?" tanya Ryan yang telah berada di samping Eric.

Eric mengangguk tanpa menolehkan kepalanya ke arah Ryan.

"Ryan," panggil Eric dengan suara direndahkan dan tanpa menatap Ryan.

"Apa?" tanya Ryan sambil mengikuti pandangan Eric.

"Gue kayaknya kenal salah satu wanita itu," ujar Eric dengan wajah sangat serius.

"DEMI?!"

"Serius, gak bohong," kata Eric, kali ini menatap Ryan yang sedang cengo di depannya. "Familiar banget mukanya, gue jadi makin pengen cari tau."

Ryan bergidik ngeri. "Hati-hati aja lah, Ric," Ryan mengingatkan. "Coba aja gak ada gue tadi."

Eric mengulum bibirnya. Kemudian menghela napasnya kasar. Lalu mengacak rambutnya frustasi.

"Eh, kok lo bisa di sini, sih?" tanya Eric pada akhirnya.

"Iya tadi gue baru bangun tidur, terus ngecek hape banyak panggilan tidak terjawab dari lo," Ryan memberi tahu. "Jadi gue niat ke rumah lo."

Eric tersenyum kecil. "Btw, makasih, ya."




|Beside The House|

[✔️] ʙᴇsɪᴅᴇ ᴛʜᴇ ʜᴏᴜsᴇTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang