Kamu. Apa kabar? Rindu sekali rasanya dicari dan dihubungi lebih dulu olehmu, seperti dulu.
Untuk memulai dariku, aku bingung apa yang harus kutanyakan padamu agar kau membalas pesanku, dan bersedia singgah sebentar denganku. Menceritakan beberapa cerita yang kemarin tak kutau. Atau, sejenak bersenda gurau mengenang cerita lucu kita yang dulu.
Aku rindu. Sakit rasanya merindukanmu seperti ini.
Apa kau tak takut tak mendapat kabarku? Atau kau tak takut aku marah karena kau tak menghubungiku? Bukankah mungkin saja terjadi, aku tak menghubungimu lebih dulu karena aku 'ngambek' padamu?
Apakah ketiga kemungkinan di atas tak terlintas sama sekali di benakmu?
Bukankah itu keterlaluan?
Lagi-lagi aku harus bertahan. Kenapa? Entahlah. Aku tak punya alasan untuk pergi meski sebenarnya dari hal seperti ini sudah membuatku sakit hati.
Kau sungguh berbeda, saat berjumpa. Terakhir kuingat, kau sangat menyayangiku saat bertemu. Memberikanku ini itu, dan sangat berusaha membuatku tersenyum karenamu.
Kenapa setelah jauh (lagi), kau seakan tak peduli? Seolah-olah hanya aku saja yang menganggapmu berarti. Seolah-olah aku saja yang mencintai.
Itu membuatku berpikir kotor lagi. Apa kau punya...
Ah sudahlah. Aku tak ingin mengotori hati dengan berpikir demikian. Aku akan percaya saat aku punya faktanya.
Karena kau tak berkabar, rinduku semakin melebar.
Aku mencoba untuk mengobatinya sendiri.
Day 5 without you, aku mengunjungi rumahmu. Ibumu sehat. Beliau sama seperti terakhir aku ke rumahmu, masih cantik. Kakak perempuanmu sedang tak di rumah. Seperti biasa, ia sangat sibuk bekerja. Sedang kakak lelakimu, kebetulan saja ada di ruang tamu, bersama beberapa kawannya. Foto bapak juga masih ada di tengah ruang tamu. Piguranya baru, sehingga bapak terlihat gagah dan menawan, sepertimu.
Aku di dapur. Membantu ibu memasak ditemani kucing putih kesayanganmu, Pusi.
Aku ingat, untuk bisa masuk ke rumah ini harus kukuatkan hatiku menembus berbagai tembok di depanku, waktu itu. Sulit sekali rasanya. Seakan tak mampu kulewati. Namun, genggaman tanganmu memberanikanku untuk menatap gerbang rumahmu, dan melewatinya.
Katamu, aku pasti bisa masuk. Aku pasti sanggup memperkenalkan diri sebagai wanita terbaik yang bersedia menemanimu sampai kapanpun.
Katamu begitu, dulu.Aku berbincang banyak dengan ibu, tentu saja perbincangan tentangmu. Aku tidak bosan dan selalu bertanya masa kecilmu kepada ibu. Meski sebenarnya aku hafal betul bagaimana ceritanya. Hanya saja, dengan itu kurasa aku bisa mengenangmu dengan baik.
Kau tau? Rinduku terobati, sedikit. Tenang sekali rasanya berada di tengah keluargamu.
Kakakmu mempersilakanku untuk masuk ke kamarmu. Kurasa ia mengerti, bahwa aku sangat rindu dan lelah menanti.
"Tuh, masuk aja."
Kamarmu sedikit berubah. Foto kita tak lagi di meja. Ada di dinding. Entah siapa yang mengubahnya, namun sejujurnya aku lebih suka jika ada di atas meja.
"Aku merindukanmu. Sangat merindukanmu. Harum ruangan ini, adalah wangimu."
Tangisku tak mereda, mengingat baiknya perlakuan keluargamu padaku dan renggangnya hubungan kita. Sesak sekali rasanya. Bagaimana aku bisa mengembalikanmu seperti sedia kala? Seperti semula? Saat pertama kali jatuh cinta?
Dulu, saat kau terlihat sangat mencintaiku, aku kesulitan mendapatkan hati keluargamu. Sedang kini, ketika keluargamu membuka lebar tangannya untuk memelukku, kau seakan melepaskan genggamanmu begitu saja, tanpa tanda-tanda.
Sayang. Sakit sekali rasanya mencintaimu seperti ini. Sedang apa sebenarnya kamu di sana? Sedang apa sebenarnya hingga kamu berubah?
Andai kau mengerti, perubahanmu sangat menyayat hati ini. Perubahanmu sangat membuatku berpikir aku akan sendiri.
Sayang, kalau memang akhirnya kau harus meninggalkanku sendiri seperti ini, akan lebih melegakan jika cinta ini hilang. Akan lebih melegakan, jika cinta ini dapat dilupakan. Akan lebih melegakan, sayang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Days Without You
RomanceSebuah usaha melupakan kebiasaan mencintai dan mengejar seseorang.