Ada satu pertanyaan yang Eric pikirkan kemarin malam sebelum tidur.
Apa ibu benar-benar tahu semua ini?
Saat itu ibunya memang tahu bahwa sering ada bau anyir yang muncul. Tetapi, mengapa sekarang ibu terlihat biasa saja? Bahkan ia jadi jarang merasa khawatir kepada Eric. Malah sekarang Eric yang khawatir.
Apa ia bertanya saja kepada ibunya? Itu bukan ide yang buruk bukan?
Eric pun mencari ibunya. Di ruang keluarga, di dapur, di kamar, di teras, dan di manapun Eric tidak menemukannya.
Ia pun menelepon ibunya. Namun yang terjadi malah ponsel ibunya yang berdering di kamar ayah dan ibunya. Ia sampai bingung harus mencari ke mana lagi.
Dan sekarang tidak ada pilihan lagi selain bertanya kepada kedua sepupunya itu.
"Zain," panggil Eric yang hanya melihat Zain sendirian di kamarnya.
"Kenapa?" Zain yang sedang membaca komik milik Eric pun menoleh.
"Liat ibu gak?" tanya Eric yang masih berada ambang pintu.
"Tante? Nggak," jawab Zain yang berjalan menghampiri Eric.
Eric mulai khawatir, tentu saja. Ia menggigit bibirnya dan berpikir.
"Lo liat Zein, gak?" kali ini Zain yang bertanya.
"Nggak," jawab Eric singkat tanpa menatap Zain.
"Dia ke mana, ya? Dari tadi gak keliatan," gumam Zain yang balik berjalan ke tempat tidur Eric untuk tidur-tiduran.
"Lo gak telepon dia aja?" tanya Eric yang mengikuti Zain ke tempat tidurnya.
Kepala Zain terangkat. "Oh, iya ya." kemudian ia meraih ponselnya yang berada di saku celananya.
Eric ikut berbaring di samping Zain. Melihat komik apa yang dibaca Zain ternyata juga komik favoritnya, Detektif Conan.
Conan sering sekali menghadapi para pembunuh seperti itu. Kemudian ia juga selalu menangkapnya dengan segala bukti yang jelas di tangannya. Eric jadi ingin seperti Conan.
"Ck, Zein juga gak bisa dihubungi," decak Zain sebal. "Laper gue, Ric."
Perut Eric berbunyi. Benar, ia lapar dan belum sarapan.
"Lo bisa masak gak, Ric?" tanya Zain yang sedang berguling-guling di kasur Eric. Rasanya nyaman sekali.
"Bisa, sih," jawab Eric ragu.
"Ya udah lo yang masak, biar gue nunggu di sini, hehe."
Eric mendelik. Tapi kasihan juga melihat sepupunya kelaparan. Bagaimana pun ia juga tuan rumah.
"Ya udah lo tunggu ya sebentar," kata Eric sambil membuka pintu kamarnya.
"Eh? Lo beneran mau masak? Gue cuma bercanda loh," Zain bingung dengan Eric yang mengiyakan ucapannya. "Ya udahlah gue ikut aja," lanjutnya sambil bangkit dari tempat tidur Eric.
Eric membuka kulkas dan mendapati isi kulkasnya hampir kosong. Hanya ada beberapa camilan, soda, dan sisa makanan tadi malam. Tidak ada bahan untuk dimasak pagi ini. Sisa makanan tadi malam pun tinggal sedikit. Hanya tinggal setengah porsi.
"Gue harus masak apa?" gumam Eric sambil menutup pintu kulkas.
Kemudian Eric teringat sesuatu, tetapi ia menggelengkan kepalanya. Lalu ia teringat sesuatu lagi, tetapi ia menggelengkan kepalanya lagi. Lagi-lagi ia teringat sesuatu, namun lagi-lagi pula ia menggelengkan kepalanya.
"Akkhh, bisa gila gue," kata Eric pada dirinya sendiri sambil mengacak rambutnya.
Eric pun melangkah ke meja makan. Ia duduk sambil terbengong-bengong. Entah apa yang ada di pikirkannya. Yang dia inginkan saat ini adalah makan, makan, dan makan. Jam menunjukkan pukul delapan pagi namun ibunya belum memasak untuknya. Bahkan menampakkan batang hidung saja tidak.
"Itu juga Zein kemana lagi? Apa dia lagi berkomplot lagi?" Eric bertanya-tanya.
Tiba-tiba Eric ingat sesuatu.
"Dia juga berniat buat nyelakain ibu lo juga."
Ya, perkataan Zain beberapa hari yang lalu.
"Sial!" pekik Eric geram.
Ia pun buru-buru bangkit dari duduknya dan dengan berlari kecil ia menuju pintu ruang tamu.
Namun baru saja ia sampai di ruang tamu, ibunya dan Zein masuk sambil membawa beberapa kantung kresek makanan.
"Loh, Eric? Mau ke mana?" tanya ibu sambil menaruh kresek di meja ruang tamu.
"Ah, nggak," Eric berpikir untuk mencari alasan. "Aku tadi laper terus pengen ke luar beli makanan."
Tidak sepenuhnya berbohong kan?:)
"Ibu sendiri—sama Zein—habis dari mana?" tanya Eric yang sedikit khawatir.
"Kamu tidak lihat ini apa?" tanya ibu sembari mengangkat kresek berisi empat kotak nasi dan ayam.
Eric hanya mengangguk.
"Ya sudah ayo kita makan!" ajak ibunya kepada Eric yang masih memandang empat kotak tersebut. "Zein, panggil Zain!"
"Oke, tante," Zein mengangguk.
Setelah kepergian Zein, Eric bertanya kepada ibunya.
"Ibu nggak apa-apa, kan?" tanyanya sedikit khawatir.
"Apa, sih, kamu kalo ngomong ngaco mulu!" decak ibunya. "Ya, ibu nggak apa-apa lah, kamu nanya gitu kayak ngeliat ibu habis diculik aja."
Tetap saja Eric khawatir.
Apa Zein benar-benar tidak melakukan sesuatu pada ibu?
|Beside The House|
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔️] ʙᴇsɪᴅᴇ ᴛʜᴇ ʜᴏᴜsᴇ
Mystery / Thriller[[COMPLETED]] "Gue selalu nyium bau anyir setiap lewat situ." ©hanshzz, 2020