{dekapénte}

57 17 6
                                    

Eric sedang berolahraga di halaman rumahnya sekarang. Sejak kedua sepupunya datang ke rumahnya, ia jadi jarang olahraga walau hanya sekadar jogging saja.

Kali ini ia hanya pemanasan selama tiga puluh menit dan berlari kecil mengelilingi rumahnya. Sudah biasa ia seperti ini sendiri. Terkadang ayahnya menemaninya,  tetapi karena saat ini ayahnya sedang keluar kota jadi ia sendiri saja.

Niat awalnya tadi Eric ingin mengajak kedua sepupunya untuk ikut bersamanya. Namun sekarang ia sedang ingin sendiri. Dan tentu saja sekarang ia juga sambil memperhatikan dan memantau sekelilingnya.

Ketika Eric sedang sendiri seperti ini, ia merasakan yang namanya kebebasan. Apalagi di hari yang masih bisa dibilang pagi ini. Rasanya ingin merasakan kebebasan ini setiap hari. Menghirup udara segar tanpa cemas akan hari esok.

"Oh, rupanya lo di sini, Ric."

Eric menoleh dan mendapati sepupunya berjalan ke arahnya.

"Lo nyariin gue?" tanya Eric sambil mengelap keringatnya dengan bajunya.

"Gue bosen di kamar lo mulu," jawab sepupunya itu. "Kamar lo kan ber-AC tuh, lama-lama kalo gue bersemedi mulu di kamar lo kulit gue jadi rusak."

Eric mencebik. "Ada gitu, ya, cowok peduli sama kulitnya."

"Ada, gue," Zain menunjuk dirinya sendiri.

"Pantesan kulit lo bagus," cibir Eric.

Zain hanya terkekeh.

"Btw lo lagi ngapain? Berkebun?" tanya Zain yang melihat tubuh Eric penuh dengan keringat dan tangannya sedikit kotor.

"Ah, nggak. Gue tadi habis olahraga."

"Masa?"

"Iya."

"Oh."

"Lo juga ngapain ke sini?"

"Kan tadi udah gue kasih tau."

"Oh."

"Gue ikut dong olahraga."

"Udah selesai."

Zain cemberut. "Ah, gak asik."

"Ya udah sono olahraga sendiri."

"Gak ah, malu."

"Ck, lama-lama gue gak ngerasa lo kayak cowok deh," kata Eric sambil berkacak pinggang.

"Ck, lama-lama lo cerewet juga kayak cewek," Zain membalas perkataan Eric sambil berkacak pinggang juga.

Dan kemudian terjadi kejar-kejaran di antara mereka berdua. Seperti anak kecil sekali. Padahal usia mereka sudah mendekati masa remaja.

Mereka berlari-lari di sekeliling rumah Eric. Sambil tertawa seperti saat mereka masih kecil.

Dulu saat masih kecil, dua insan ini juga suka sekali kejar-kejaran. Dan tentu saja Eric duluan yang memulainya. Eric meledek Zain batu karena dulu Zain sangat pendiam hingga bergerak pun tidak mau. Belum lagi dulu juga Zain kurang suka berbicara.

Makanya sekarang mereka sudah seperti saudara.

Selain Zain, Zein juga suka bertengkar dulu bersama Eric. Mereka suka berebut hal-hal yang tidak penting untuk disebutkan. Seperti karet misalnya. Ketika Eric ingin menjahili Zain dengan jepretan karet, Zein pun merebutnya. Dan terjadilah acara rebut-merebut hingga keduanya bertengkar.

Namun itu saat mereka masih berusia lima tahun. Saking bertambahnya usia, mereka pun jadi akur dan seperti saudara kandung.

"Dah, woi! Gue capek," kata Eric yang berhenti mengejar Zain.

Zain pun karena tidak bisa menghentikan kakinya, ia menjatuhkan dirinya ke tanah dengan sengaja. Alhasil, bajunya dan telapak tangannya penuh dengan tanah.

"Kan jadi olahraga," Zain terkekeh dan dilanjutkan dengan tawa.

Eric baru tersadar. "Lo ternyata pinter juga ya bikin tipu daya," ujarnya sambil menatap Zain sinis.

Zain hanya tersenyum.

Kemudian mereka berdua pun berdiri dan berjalan menuju teras. Mereka berdua duduk-duduk di teras sebentar untuk sekadar meluruskan kaki.

Hening.

Entah kenapa di saat seperti ini, Eric malah ingin bertanya tentang rencana Zein dan siapakah dua wanita yang selama ini berkomplotan dengan Zein.

"Eh, Zain," Eric akhirnya memanggil Zain.

"Apa?" tanya Zain tanpa menolehkan kepalanya.

"Lo pasti tau kan rencana lain Zein?" tanya Eric to the point.

Yang ditanya pun sangat terkejut karena dilempar pertanyaan seperti itu disaat mereka habis bersenang-senang.

"Zain, tolong jawab," pinta Eric dengan nada suara yang dipelankan. "Gue tau lo pasti tau semuanya."

Eric berkali-kali melihat Zain menarik napas kemudian menghembuskannya kembali. Dia juga melihat Zain membuka mulutnya lalu menutupnya lagi seolah-olah ragu untuk membicarakannya.

"Lo bisa kasih tau, kan, Zain?"

Kali ini Zain menunduk. Berpikir.

"Maaf gue gak bisa ngasih tau, Ric," Zain meminta maaf menyesal.

Eric mendecak. "Ck, kenapa lo gak bisa ngasih tau?" desak Eric.

"Karena—
















































—kalo gue ngasih tau, nyawa gue juga yang bakal jadi taruhan."




|Beside The House|

[✔️] ʙᴇsɪᴅᴇ ᴛʜᴇ ʜᴏᴜsᴇTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang