66. Menjadi Wanita

2.3K 205 40
                                    

Hari mulai malam, satu persatu tamu yaitu kerabat dan tetangga mulai pulang. Hanya beberapa orang yang berjaga di luar, anggota Ayah dan para pekerja yang biasa mengurusi sawah dan gudang hasil tani di bawah pimpinan suami Mbak Imah, mereka masih berjaga di luar rumah.

Aku tahu satu persatu orang mulai terlelap di tempatnya masing-masing. Jam kini sudah hampir menunjuk angka satu namun aku masih terjaga di sini, dikamar pengantin yang sudah dihiasi bunga-bunga cantik, meski sebagian bunga yang tertata pada beberapa tempat sudah mulai layu sebab sudah terpasang beberapa hari tapi wanginya masih sama segar. Bunda yang memintaku tidur disini sebab kamar pavilliun rupanya semakin sesak dengan semua benda seserahan setelah acara tadi malam, semua orang sudah terlalu lelah, besok sebelum persiapan make-up baru akan dibereskan bersama dengan ditatanya bunga baru.

Rumah begitu tenang, hanya bunyi jangkrik dan angin yang terdengar dari alam, juga sayup suara dengkuran kudengar dari mulut manusia. Aku tahu jelas siapa yang mendengkur begitu keras, beberapa orang tapi yang paling keras tentulah Mas Rama dan Farhan.

Tiba-tiba aku ingat Mas Mahesa yang tak mendengkur saat tidur, ehm... tapi aku tak tahu pastinya. Dulu aku pernah diminta Ibu untuk membangunkan pria itu saat aku singgah ke rumah mereka, masuk ke kamar pria itu namun tak tega untuk membangunkannya saat menyadari dahinya yang panas. Saat itu kami sedang memiliki masalah, tapi rasanya aku tak ingin marah lagi kepadanya saat tahu apa yang memperparah sakitnya. Aku duduk mengamatinya dalam diam, dahinya berkeringat sesekali dia mengigau.

Aku merindykan pria itu.

Kembali berguling kesana-kemari sejak beberapa waktu lalu namun masih tak bisa juga untuk terlelap. Rasanya aku tak bisa tidur padahal sejak pagi buta nanti aku sudah harus dirias oleh bukde Ratih untuk akad nikah. Simbah mungkin sudah tertidur di kamarnya dan setiap tidur dia selalu mengunci pintunya, aku tak enak harus membangunkannya tengah malam agar aku bisa masuk ke kamarnya. Tapi rasanya aku tak mungkin bisa terlelap sendirian disini.

Rasanya begitu tak tenang, grogi dan khawatir. Aku tak tahu apakah setiap calon pengantin seperti ini, kurasa aku tak bisa terlelap karena iya. Aku tipe orang yang bisa tidur dimanapun, saat shift malam jika ada kesempatan aku bahkan tidur di celah antara meja dan loker lemari dengan lelap dengan alas dinginnya lantai keramik. Aku tak pernah melihat pengalaman orang disekitarku saat malam menjelang hari pernikahan, dulu saat mbak Airin, Mbak Dila, Mbak Vivi, dan Viona menikah aku terlalu lelah setelah banyak membantu acara, saat malam midodoreni selesai aku lekas mencari tempat tidur lalu terbang ke alam mimpi.

Aku terus bergulang-guling di kamar, lampu di kolam renang bisa kulihat melalui pintu kaca kamar dimana hanya tirai tipisnya yang kututup. Lampu kamar yang masih menyala terang bukanlah kebiasaanku, membuatku tersadar mungkin ini salah penyebabnya. Meski sebenarnya aku bisa yidur dalam keadaan apapun, akal sehatku yang tak baik-baik saja butuh sesuatu untuk disalahkan. Harus kupadamkan lampu itu, namun saat kedua kakiku baru turun dari ranjang pintu kayu yang terhubung ke dalam rumah diketuk pelan. Aku mengunci pintu itu tadi.

"Nduk, ini Bunda." Suara dari balik pintu.

Gegas aku berdiri dan melangkah mendekati pintu, menemukan dua orang tersenyum, Bunda dan Ayah dibelakangnya.

"Bunda sama Ayah ngungsi yah?" Kata Bunda pelan senyumnya terbentuk kecil.

Aku juga ikut tersenyum sembari mengangguk, membuka pintu lebih lebar lalu mempersilahkan Ayah dan Bunda masuk. Kumatikan saklar lampu dan menyisahkan lampu di atas nakas untuk menyala. Kembali merebahkan diri di atas ranjang yang cukup luas untuk menampung kami bertiga, dengan mereka mengampitku.

"Kenapa belum tidur?" Tanya Ayah di belakangku.

Aku tertidur menghadap ke arah Bunda, tapi masih bisa kurasakan tangan mereka memelukku hangat.

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang