Cerpen : Tubuh Kotor dan Air Mata

49 3 0
                                    

Gravitasi membawa tetesan embun itu mengalir di jendela, turun ke bawah, masuk ke dalam sela-sela karet jendela bus yang membalut tiap sisinya agar embun atau air hujan tidak masuk ke dalam. Tubuh pria itu tersentak ke depan bersamaan dengan kaki tangguh sang pengemudi menginjak rem. Menghentikan bus kota yang indah itu di halte selanjutnya, sekujur tubuh bus itu sejuk baik di luar maupun di dalam, di luar tampaknya makin dingin saja. Baru saja kota besar ini diguyur hujan lebat beberapa menit yang lalu, entah daerah mana saja yang akan terkena dampak banjirnya malam ini.

Pria itu duduk sendiri di dekat jendela, matanya merapat memandang keluar, gedung-gedung tinggi membentang di sisi jalan sana, ia tersenyum saat membayangkan apa saja yang dikerjakan orang-orang di gedung itu di malam yang sejuk seperti sekarang ini. Sebagian dari mereka mungkin sedang menyantap mie instan dengan telur ceplok setengah matang, yang di goreng di atas panci yang sudah sangat tua, atau ada yang sedang saling menghangatkan badan di atas ranjang lebar dengan selimut yang tebal yang di penuhi dengan aroma keringat dua manusia yang sedang berbagi kehangatan.

Apakah mereka pasangan yang sah atau masih berpacaran itu bukanlah masalah besar di jaman edan sekarang ini. Menurutnya, tak ada salahnya bercinta dengan istri ataupun pacar. Toh, semua dosa mereka yang tanggung di kemudian hari. Seorang wanita, masih muda tentunya, berjalan masuk dengan langkah gontai, aromanya bisa ia rasakan dari jarak 3 kursi darinya, matanya sembab. Namun, ia tetap tersenyum saat tidak sengaja menyenggol lutut salah seorang penumpang. Entah mengapa dari semua kursi yang tak berpenghuni, wanita itu memilih duduk di sebelahnya.

Aromanya membuatnya merinding, entah sabun atau lotion macam apa yang dikenakan wanita ini. Tangannya gemulai saat meletakkan tas di pangkuannya, suara napasnya lembut terdengar lirih di telinga pria itu. Ia tersenyum menyapa, pria itu pun membalas dengan sopan. Wajahnya cantik, kata pria itu dalam hati. Bus kembali mengarungi lautan aspal di kota besar ini. hanya ada 4 penumpang di bus panjang ini, dan jarak mereka berjauhan dari penumpang yang lain. Sesekali wanita itu mengecek handphonenya, pria itu memerhatinnya dari ekor matanya, ia tak ingin mengintip privacy orang lain, tapi layar handphone itu seolah menggodanya agar sedikit melirik ke arahnya.

Wanita itu terseduh, setetes air mata menetes dari matanya yang indah itu. Ia tak ingin bersuara, tenggorakannya mulai terasa perih menahan pedih, setelah menghapus tetesannya ia menatap lurus ke depan, sorot matanya tegar seolah tak terjadi apa-apa. Pria itu tetap diam, tak ingin menganggu, rasa sejuk AC bus ini membuat suasana makin tidak nyaman. Deruan kendaraan melintasi bus ini membuat bus seolah berjalan lebih lamban dari sebelumnya, pria itu ingin berpindah tempat duduk saja rasanya, sangat menganggu jika harus merepotkan wanita ini agar bergeser beberapa derajat untuk memberinya jalan ke tempat lain dan juga ia tak ingin membuat wanita ini tersinggung dengan dirinya yang berpindah ke tempat lain, malam ini sudah cukup rintih untuknya.

"Apa menurut Mas aku orang yang kotor," wanita itu bersuara, mengikis udara, mengikis suara kendaraan di luar sana, suaranya menggema di gendang telinga sang pria.

Suaranya tegar, kuat seperti seorang kesatria tangguh yang berdiri di hadapan sang raja ketidakadilan, menantang. Pria itu bersuara, meyakinkan diri apakah wanita itu berbicara dengannya, wanita itu mengangguk pelan sembari tersenyum pahit, sangat pahit.

"Maksud Mba?"

"Sya pelacur Mas."

Satu pengakuan membuat bulu kuduk si pria berdiri seketika, aroma wanita ini sejak tadi meninggalkan kesan ganjil di serabut saraf pembaunya. Ada aroma yang sangat familiar, satu aroma yang dekat namun selalu terbaikan olehnya. Aroma pria.

Aroma tubuhnya yang indah ini bercampur dengan aroma seorang pria, entah seperti apa bentuk keparat yang menikmati tubuh wanita ini, apakah mereka tipikal pejabat-pejabat pemerintahan yang brengsek, berpori-pori lebar, berkumis tebal dengan perut buncit hasil makan uang rakyat. Ataukah pemuda-pemuda busuk yang sedang menikmati masa pubertasnya, menikmati tubuh wanita ini dengan hasil kerja keras orangtua mereka yang sedang merebahkan diri di kasur dengan aroma keringat kerja keras mereka selama sebulan, semua itu tak penting, yang penting adalah wanita ini. Kenapa ia begitu terbuka kepada orang asing sepertinya. Mereka tak pernah bertemu sebelumnya, tak saling kenal satu sama lain.

Untaian Kata Pinggir JalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang