Hari ini Ryan menelepon Eric karena temannya yang katanya "spesial" itu datang ke rumahnya. Siapa tahu Eric ingin bertanya banyak kepadanya, jadi Ryan mengundang Eric untuk datang.
Pagi-pagi sekali Eric sudah bersiap-siap. Bahkan saking paginya, ia bersiap ketika kedua sepupunya itu masih didekap hangat oleh alam mimpi. Ia memakai jaket levisnya dan mengenakan topinya.
Supaya sedikit tersamarkan katanya.
Tidak lupa ia juga sudah menyiapkan beberapa pertanyaan di otaknya.
Ia pergi tanpa sepengetahuan orang rumah. Jadi ia akan mengabarkan mereka jika ia sudah sampai di rumah Ryan saja. Biar aman pikirnya.
Jalanan kompleks sekitar rumahnya sangat sepi saat pagi. Membuatnya terkadang lega tetapi was-was juga. Namun yang ia suka ketika pagi hari adalah saat udara masih segar dan belum tercemar. Membuatnya merasa seakan berada di pegunungan.
Rumah Eric dan Ryan tidak terlalu jauh. Hanya berbeda dua blok saja. Makanya Eric bisa dengan mudah berkunjung ke rumah Ryan kapan saja.
Perumahan tempat Eric dan Ryan tinggal adalah perumahan elite. Tidak sembarang orang boleh keluar masuk di perumahan ini. Penjagaan di sini pun sangat ketat. Karena banyak pejabat-pejabat dan pengusaha-pengusaha besar tinggal di sini. Termasuk ayah Eric, ayahnya juga seorang pejabat.
Perumahan ini juga tidak boleh dimasukkan oleh pedagang. Jadi jika Eric ingin jajan, ia harus keluar perumahannya dulu. Untungnya tempatnya strategis, jadi ke mana pun tidak terlalu jauh.
"Hai, Eric, mau ke mana pagi-pagi sekali?" tanya seorang satpam di bloknya.
"Halo, Pak, saya mau ke rumah Ryan, biasa," jawab Eric sopan sambil menunjuk arah rumah Ryan.
"Ck, kamu ini keseringan main sama Ryan, saya jadi curiga," satpam tersebut memicingkan matanya menggoda Eric.
Eric menggeleng. "Haha, nggak, Pak, saya masih normal," cengir Eric. "Ya sudah, Pak, saya duluan." Eric melambaikan tangannya.
"Yo, hati-hati."
Eric cukup terkenal di bloknya. Ia dikenal dengan keramahannya dan kesopanannya. Dan tentu saja keluarganya juga termasuk keluarga yang paling disegani oleh orang-orang.
Eric sampai di rumah Ryan lima menit kemudian. Rumahnya sepi seperti biasa. Orang tuanya bekerja di luar kota. Jadi Ryan hanya tinggal bersama kakak perempuannya yang sedang kuliah.
Kemudian ia menelepon Ryan.
"Halo, Ry, gue udah di depan."
"Masuk aja, gak dikunci."
"Oke."
Benar saja ternyata gerbangnya tidak dikunci ataupun di password seperti biasanya.
Ketika Eric melangkah masuk, Ryan sudah ada di teras bersama temannya itu.
"Halo, Ric, apa kabar?" tanya Ryan sambil mempersilakan Eric duduk. "Ayo duduk." Eric mengangguk.
Sekarang, posisi Ryan berada di antara Eric dan temannya.
"Kenalin, ini temen gue yang bantu gue ngawasin rumah lo belakangan ini." Ryan menunjuk temannya yang berada di sebelahnya.
"Halo, gue Farrel," Farrel menyodorkan tangannya untuk bersalaman.
"Gue Eric," Eric membalas menjabat sodoran tangannya tangannya.
"Tuh, Ric, kalo ada yang mau ditanyain," kata Ryan sambil memundurkan badannya sedikit agar mereka bisa leluasa untuk mengobrol.
Eric dan Farrel sama-sama memajukan badannya agar lebih terdengar.
"Lo mau tau apa?" tanya Farrel on the topic.
"Gue— semuanya aja yang lo bisa kasih tau," jawab Eric.
"Oke," Farrel terlihat menyusun kata-kata. "First impression gue liat rumah lo, feeling gue udah jelek. Gue kayak ngerasa rumah ini ada sesuatunya dan itu bisa jadi berbahaya. Hari berikutnya gue liatin rumah lo dari deket, gue ngeliat penjaga di rumah lo."
"Penjaga?" tanya Eric.
"Ya, kayak semacam— jin?" Farrel memelankan suaranya pada kata jin. "Dan yang perlu lo tahu, penjaganya nggak cuma satu, tapi ada delapan yang gue liat. Dan untungnya mereka cuma ngejaga luar rumah lo doang. Di hari itu gue belom tau untuk apa si penjaga itu jagain rumah lo. Di hari berikutnya gue dateng lagi, gue ngeliat seorang wanita—bisa jadi dia yang bekerja sama dengan si penjaga itu—meminta bantuan kepada penjaga itu untuku membunuh anjing liar dan membawanya ke samping rumah lo."
Eric meneguk salivanya. Jadi teringat kejadian beberapa hari yang lalu di mana ia kabur ketika menemukan bangkai anjing di samping rumahnya dan hilang begitu saja setelah ia kembali ke rumah.
"Tapi soal bangkai itu sebenarnya gak ada apa-apanya. Hanya saja, bangkai itu banyak mengundang setan-setan untuk datang dan menyebabkan rumah lo ramai sama pendatang."
Eric bisa melihat Ryan yang ikut menyimak bergidik ngeri.
"Jika pendatang itu terua berdatangan ke rumah lo, pasti akan banyak hal aneh yang terjadi di rumah lo. Entah itu seperti yang di film horor yaitu benda-benda yang jatuh ataupun kemunculan mereka. Bisa jadi."
Eric dan Ryan kompak menahan napas.
"Terus kan waktu itu gue iseng lewat rumah lo, Ric, kok gue ngerasa ada yang aneh ya sama samping rumah lo."
"Apaan emangnya?" tanya Eric khawatir.
"Gue selalu nyium bau anyir setiap lewat situ," jawab Farrel berbisik.
"Gue juga sering, Rel, nyium bau anyir gitu," Eric memberitahu dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Menurut lo, dari kapan bau itu dateng terus?" tanya Farrel memastikan.
"Sekitar seminggu yang lalu, ayah gue keluar kota dan bau itu sering datang setelah itu," jawab Eric sambil menghela napas. "Dulu ibu gue juga tau dan anehnya sekarang dia seperti nggak masalah."
Farrel tampak berpikir. "Gue bakal cari tau sebisa gue, ya, Ric. Maaf aja sekarang gue belom tau banyak," kata Farrel menyesal.
"Gak apa-apa, nanti kita bahas aja di chat," kata Eric sambil tersenyum. "Gue minta nomor hape lo, ya."
"Oke."
|Beside The House|
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔️] ʙᴇsɪᴅᴇ ᴛʜᴇ ʜᴏᴜsᴇ
Misterio / Suspenso[[COMPLETED]] "Gue selalu nyium bau anyir setiap lewat situ." ©hanshzz, 2020