15. Stockholm Syndrome

813 161 52
                                    

⭐⭐⭐

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⭐⭐⭐





















"Aku cuma pelayan kamu, kenapa kamu bersikap kayak gini?" tanya Rania.

"Tadi kan udah aku jelasin."

"Kamu cinta sama aku kan?" Rania meraih satu tangan Renjun. Dia pasti sudah gila, ya semenjak hari pertama jadi pelayan Renjun, Rania sudah gila. Bahkan itu bertambah parah.

"Cinta? Kamu mabok atau gimana? Siapa yang cinta sama kamu?" tanya Renjun berubah sinis.

"Semua perlakuan kamu selama ini... Bahkan malam itu kamu cium aku."

Renjun tertawa sarkas.

"Kamu bukan satu-satunya perempuan yang pernah aku cium Rania. Bela—nggak, bahkan perempuan-perempuan di club itu udah pernah aku cium."

"Apa ciuman harus berarti cinta? Kamu hidup dizaman apa sih?" tanya Renjun.

Mata Rania mulai berkaca-kaca. Kini dia merasa tak ada bedanya dengan perempuan-perempuan itu. Mungkin benar Renjun hanya menganggapnya sebagai budak. Hanya pelayannya saja.

"Maaf, mungkin aku salah paham." Rania mengalihkan pandangannya pada jendela. Dia tidak mau terlihat sedang menangis.

"Kamu pelayan, Rania. Beda dengan Bela waktu itu. Jadi nggak perlu berharap lebih." tegas Renjun.

"Oke." sahut Rania yang sempat tersendat beberapa saat.

Percayalah, mendengar kalimat itumembuat hati Rania begitu sakit. Menyesakan, sekaligus malu, dia malu sekali sudah berharap lebih dan begitu percaya diri. Benar, Renjun juga menyuruhnya bekerja disana karena kasihan, tidak ada maksud lain. Jadi seharusnya ia juga tahu diri. Lagipula Renjun selama ini sering menyiksanya, bahkan menjadikannya objek lukis, mengapa juga harus ada cinta.





✨✨✨






Antreannya semakin panjang, memang cafe roti bakar itu sangat terkenal dan banyak digemari. Bela sudah menunggu hampir dua puluh menit hanya untuk membeli satu porsi. Tidak lama ada yang menepuk pelan pundaknya, Bela pun menengok. Seorang laki-laki tinggi terlihat ragu dan canggung menegurnya.

"Ada apa?"

"Aku barusan belinya kebanyakan, kalau mau ambil ini aja daripada lama antre." ujar lelaki itu sambil menawarkan satu bungkus roti bakarnya.

Bela lalu keluar dari antrean dan menatap laki-laki itu sebentar. Tampan sekali pikirnya, lebih tampan dari Renjun.

"Oke, ini seporsinya tadi berapa?" Bela merogoh tasnya, bermaksud mengambil beberapa lembar uang.

"Eh nggak usah, ambil aja gratis."

"Hah? Serius?" Bela tersenyum tipis sambil mengambil roti itu. "Makasih ya."

Bloody Fear | Renjun✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang