{dekaeptá}

55 16 17
                                    

Setelah Eric berkenalan dengan Farrel, ia jadi cukup dekat dengannya. Eric baru tahu ternyata Farrel adalah anak keturunan indigo. Ayah dan ibunya indigo, maka menurun lah bakat indigo kepadanya. Dan bakat indigonya sangat kuat.

Kemarin Ryan sempat bercerita kalau Farrel dan dirinya sudah berteman sangat lama tetapi mereka jarang bertemu. Mereka berteman sejak SMP dan bisa dekat karena dulu Ryan sering diganggu oleh makhluk halus kemudian Farrel membantu mengusirnya.

Ada cerita yang membuat Eric terkejut mengenai fakta Ryan menjadi indigo. Yaitu saat Farrel dan Ryan berteman, Ryan belum memiliki bakat ndigo, tetapi suatu hari Ryan ingin menjadi indigo seperti Farrel. Jadilah Farrel membantu Ryan memiliki bakat indigonya. Tetapi bagaimana cara ia mendapatkannya tidak boleh di ceritakan, karena itu sudah termasuk dalam perjanjian. Maka dari itu juga, Ryan tidak pernah memakai bakatnya sebelumnya.


Ada-ada saja, pikir Eric.
























"Ric, dipanggil ibu lo," wajah Zein muncul di ambang pintu kamar.

"Iya, sebentar lagi gue turun," Eric yang sedang mengobrol bersama Farrel di chat pun menghentikan aktivitasnya.

Pasti ibunya akan menyuruhnya untuk ke minimarket lagi.

"Ah, bentar lagi aja," gumamnya kepada dirinya sendiri. Ia pun masih belum bergerak dari tempatnya. Badannya tidak ingin diajak bekerja sama.

Dia pun melanjutkan kegiatannya membalas pesan dari Farrel. Masih ada yang ingin ia ceritakan pada Farrel. Sangat banyak. Walaupun ia tidak ingin terlalu bergantung kepada Farrel, setidaknya Farrel dapat membantunya dalam hal lain yang tidak bisa dilakukan olehnya.

Sudah cukup lama ia menunda-nunda panggilan ibunya, ia pun beranjak dari kasurnya.

Dengan langkah malas, ia melenggang keluar kamar dan menghampiri ibunya yang sedang berada di dapur.

"Kok lama, sih?" gerutu ibunya sambil menaruh selembar uang di meja makan. "Beliin nih, udah ibu list."

Eric menerima list barang belanjaan yang cukup banyak itu.

Di saat seperti ini gue pengen punya adek, batin Eric sambil bergegas.

"Disuruh ke minimarket lagu, ya, lo?" tanya Zein yang sedang menonton televisi, meledek.

"Berisik!" tanggap Eric singkat sambil terus berlalu tanpa mengabaikan Zein.

Jujur, ia sedang malas disuruh-suruh sekarang. Mood-nya sedang tidak baik. Ia hanya ingin di kamar, tiduran.

Sejak masalah itu, ia jadi jarang menghabiskan waktunya di kamar. Ia terlalu sering berpikir tanpa memedulikan kemalasannya.

Ngomong-ngomong, bau itu sudah jarang datang lagi. Apakah itu pertanda baik? Tetapi bukan berarti tidak akan terjadi sesuatu yang buruk kan?

Tidak tahu lah, Eric pusing.

























Ketika masuk ke dalam minimarket, Eric melihat seorang perempuan yang tidak asing di matanya.

Apa gue pernah ketemu ya? tanyanya dalam hati. 

Minimarket ramai, tidak seperti biasanya. Mungkin karena hari libur sudah dimulai. Eric tidak peduli, yang penting ia harus memenuhi permintaan ibunya dulu.

Ya ampun, Eric merasa seperti perempuan.

"Ngapain lagi ini beli mie instan banyak banget," gerutu Eric yang melihat keranjang belanjaannya penuh dengan mie instan.

Ia terus memasukkan mie instan pesanan ibunya ke dalam keranjang.

"Mentang-mentang orang kaya, beli mie sembarangan!" Eric berbicara sendiri menirukan iklan milk*ita. "Disuruh beli malah di marahin, ngajak ri— ADUH!"

Kali ini Eric kejatuhan kaleng sarden. Ia mengaduh memegangi kepalanya yang berdenyut nyeri.

"M-maaf, saya nggak sengaja," seseorang yang tidak sengaja menjatuhkan kaleng sardennya di kepala Eric pun meminta maaf.

Seorang perempuan di depannya itu terlihat takut juga khawatir.

"Eh? Lo Erina, kan?" tanya Eric setelah menyadari siapa perempuan itu.

Perempuan itu terlihat kaget. "M-maaf, lo siapa?" tanya perempuan bernama Erina itu.

"Gue Eric, temen SMP lo, inget gak?" tanya Eric berusaha mengingatkan Erina namanya.

"Ooohhh.. Eric! Yang dulu suka terlambat masuk kelas itu, ya?"

"Ehm, gak gitu juga kali," Eric mengubah wajahnya menjadi datar.

Erina pun tertawa.

"Lo ngapain di sini?" tanya Eric mengalihkan topik.

"Oh, ini, gue mau beli macem-macem lah biasa," jawab Erina sambil menunjuk keranjang belanjaannya.

"Ohh, sama dong, gue juga," kata Eric. "Eh, rumah lo di mana?" tanya Eric.

"Itu di perumahan X," jawab Erina menunjuk arah perumahan tempat ia tinggal.

"Wah, sama dong! Kok nggak pernah ketemu, ya?"

"Belom takdir kali, hehehe," gurau Erina yang membuat Eric cengengesan.

"Ya udah lah, gue duluan, ya?" Eric melambaikan tangannya sambil berjalan menuju kasir.

"Iya, nice to meet you."

Eric hanya mengacungkan jempolnya.




"Pantesan mukanya nggak asing." Eric tersenyum penuh makna.






|Beside The House|

[✔️] ʙᴇsɪᴅᴇ ᴛʜᴇ ʜᴏᴜsᴇTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang