/1/ Desir

151 2 0
                                    

Wangi yang kamu tinggalkan saat berjalan menghampiriku, bagai sebuah harum yang sangat menyengat. Harumnya masih tersisa sampai sekarang, berbekas dalam lubukku entah sampai kapan wangi ini hilang aku tak tahu.

Kuingat pula saat itu saat kau berjalan dengan angkuhnya melewatiku, tanpa menoleh tanpa bertegur, berbanding terbalik denganku yang penuh tanya, penuh ingin dan antusias akanmu. Kuingat juga kepergian itu, lewat berbagai cara aku tak bisa hilangkan bagian ingatan itu, kepergianmu dan kesabaranmu.

Ternyata tetap esok akan menjadi sebuah misteri yang membuatku lamat berpikir bagaimana aku akan berbagi sedih, berbagi riang, berbagi resiko, berbagi kenangan. Sedih selalu tak bisa dikompromikan dan ingatan ? akan selalu datang dengan sedih dan labil tentunya.

Lalu kuingat satu persatu kalimatmu saat hendak pergi. Kuingat pula sekarang, saat aku sedang sendiri untuk mengenang semua sesal dan kesalku akan ucapanku, yang terucap dari bibir yang seakan terpaksa mengatakan hal itu yang kelak akan menjadi teman kepergianmu yang sampai sekarang ketika kuingat itu juga kukutuk diriku.

Masih ada yang belum bisa kuterima, lepas dari ucapanku, di tubuh ini di ruang yang sekarang hampa ini terjadi bencana yang kelak akan terus datang di saat-saat seperti ini. Meninggalkan pedih yang sangat, tapi itu pantas untukku sangat pantas, karena aku egois atau bahasa halusnya aku terlalu mencintai diriku.

Aku terlalu mencintai diriku sendiri. Kamu, laki-laki yang yang menggetarkanku, terutama saat pertama kita bertemu, sore hari di toko buku di pinggiran kota, aku melihatmu lelaki yang terlihat angkuh ketika berdiri disana. Matamu. Mata nakal itu, yang menatap segala penjuru rak buku sastra seperti seorang anak-anak yang tak sabaran melihat mainan di sebuah etalase toko.

Aku menghampiri,berlagak mencari tapi hanya untuk menarik perhatian mata nakal itu, tapi tetap saja senakalnya mata itu aku tidak diperdulikan aku bagai objek tak penting saja sepertinya. Penasaranku memuncak, aku mendekati, tanpa banyak basa-basi karena aku yakin kamu bukan orang yang suka basa-basi, berjabat tangan, berkenalan.

Sebuah nama yang asing tapi indah. Aku semakin liar untuk menjelajahi tiap sifatmu di waktu itu. Aku mecoba melihat buku apa yang sedang kamu pegang, kamu mengeluarkan tiap buku di keranjang belanjamu. Kamu grogi. Dan aku makin menyukaimu.

Mata nakal yang tidak kompak dengan tubuhmu yang grogi. Aku juga yakin, kamu menyukaiku. Tapi sayang momen yang puitik macam film roman itu harus segera disudahi oleh kedatangan seorang lelaki lain, kekasihku.

Lalu aku bersamanya, menjauh, bergeser ke tumpukan rak buku yang lain. Kamu mengikutiku agak jauh. Kamu terus mencuri pandang dengan mata nakal itu, aku juga. Kadang kadang tak sengaja kita bersebelahan, saling tatap, kemudian pergi lagi layaknya orang di toko buku biasanya sibuk mengamati buku dimana mana, tapi aku dan kamu tidak. Kamu, mata nakalmu itu sering memaksaku menatapnya walau jauh berjarak 5 rak buku, yang ketika kutatap dalam mata itu malah semakin membuatku menyukaimu. Kamu, nakal sekali.

Berlanjt setelahnya aku bisa tebak, pertemuan pertama kita akan berlanjut. Untung saja aku sempat meminta lirih username instagram-mu. Dan setelahnya kamu akan tau, akan menjadi kenangan yang menempel pada dinding waktu.

Jujur, aku selalu membandingkanmu dengan kekasihku. Aku tahu itu salah, kekasihku orang yang sangat baik. Tapi terkadang kebaikan selalu berbanding dengan rasa suka. Aku suka padamu diantara kebaikan kekasihku. Sebuah keganjilan yang tak perlu pembenaran apa pun lagi. Tapi, asal kamu tahu, aku adalah orang yang mencintai diriku sendiri.

Aku suka, sangat suka desir darimu. Aku menikmati perasaan bergetar saat kita saling tatap, saling lempar senyum ketika berbicara bersama, saat berbalas pesan hingga larut lewat media sosial ataupun saling berkomentar di postingan foto pribadi. Anehnya, aku tak ingin itu berlalu sekaligus berubah. Aku tidak ingin kehilangan getaran dan rasa desir itu.

Sangat tidak ingin. Itulah yang menjadi alasan ketidak inginku mempunyai hubungan yang lebih, yang selalu kamu desakkan supaya kamu dan aku menjadi sepasang kekasih. Aku begitu takut. Takut ketika tak ada lagi jarak, getar, dan desir itu hilang. Lalu aku akan menjadi buas bagai singa yang memakan segalanya. Segalanya yang menimbulkan sakit.

Oleh karena itu, aku memilih kekasih yang baik hati, bukan seseorang yang aku cintai. Bagiku, yang menggetarkan selalu berjarak Yang menggetarkan selalu punya potensi tak tertebak. Maafkanlah aku. Jelas kamu tak akan terima. Aku sudah tau dan aku sudah siap dengan itu. Bahkan aku masih ingat kata-katamu yang sedikit marah, tak terima.

Aku hanya tersenyum sambil memainkan mukaku, menggodamu. Kamu kesal, tapi aku makin suka. Lalu aku berkata: kamu sih, penginya segala sesuatu harus jelas, yang ngak jelas kadang indah.
Kamu tersenyum kecut. Sungguh aku makin cinta.

Aku suka kamu menggangguku, tapi jangan sering-sering, aku tidak bisa tahan, takutnya malah menerimamu jadi kekasihku. Ingat yang menggetarkan selalu yang berjarak. Tapi kamu jangan pergi, aku tidak mau itu terjadi. Lalu kamu menghilang, benar-benar menghilang. Lama sekali. Aku tahu ini salahku. Telah kusimpan semua percakapan dan peristiwa denganmu, jika aku rindu, aku akan memutarnya kembali, mengingatnya.

Kadang rindu juga bisa memberontak, saat ini rindu ini sudah tak tertahankan. Saat itu juga kamu datang, dengan biasa dan tak sopan bagai tak ingat sudah seberapa lama dia pergi bagai pelaut. Kamu jahat, aku rindu. Kamu kemana saja? Kenapa gak kasih kabar, kenapa gak beritahu, aku khawatir. Kamu seperti orang saat pertama bertemu, hanya diam saja memandangiku dengan tatapan nakal seperti tak punya salah. Tak lama kemudian, kamu angkat bicara, kukira ingin minta maaf tapi ternyata malah ingin memperjelas hubungan kita. Aha! Aku tau kamu juga rindu ternyata.

Aku tetap bertahan. Walau sangat bahagia tau kamu rindu aku tetap bertahan, kalau mengiyakan itu bunuh diri. Aku harus terus-meners menciptakan jarak itu. Sesungguhnya yang kujaga ya getar dan desir itu. Aku memang egois, dan sangat mencintai diriku sendiri. Lalu kamu pergi lagi dengan rasa kesal dan putus asa. Tapi aku yakin kamu akan datang lagi entah untuk melihatku atau berusaha merayuku tentang mempejelas hubungan kita yang tak berkata.

Benar saja. Beberapa hari kemudian kita sudah saling tatap lagi, saling berkomunikasi lagi dan aku masih melakukan itu dibelakang kekasihku yang baik hati. Mau bagaimana lagi aku sudah jatuh hati dengan lelaki yang kutemui di toko buku itu, semenja hari itu sampai sekarang. Pada malam larut, ketika kekasihku pulas di sisiku, aku selalu disergap bayangmu. Kupandang jendela, dan aku selalu berharap ada kam disitu, mengetuknya lalu menarikku keluar dengan maksud mendengar semua kesusahanmu naik ke serambi rumahku. Dengan muka kusut dan mata nakal itu kamu meracuniku, aku turuti, untuk kemudian larut dalam dunia kita berdua.

Kamu kurindu lebih daripada seorang pelajar pada hari libur, ataupun mahasiswa pada kasur kotor di kostanya. Aku ingin seperti sungai yang mengalir terus menerus tanpa henti, tanpa jeda. Tak pernah usai, tak pernah selesai. Sama seperti aku menjaga getar ini tetap pada posisinya, sungguh aku sangat menyukaimu, dan aku yakin kamu tau, aku minta maaf karena itu egois. Dimanapun kamu berada, aku harap kamu bahagia, ah tapi mata nakalmu itu takkan mengenal bahagia bukan, selalu tak puas. Aduh, baru saja kubilang apa, aku egois, maaf.

---

Bekasi 2018

Teodorus

ANTALOGI FIKSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang