Ayah ibuku menanyakan kabarmu. Aku harus menjawab bagaimana? Kuceritakan segala kegundahanku, kegelisahanku, keraguanku, atau kututupi saja dengan sandiwaraku yang memperlihatkan bahwa kau dan aku baik-baik saja?
Kau tak ingin menghubungiku lebih dulu? Mengapa bisa sekuat itu kau tak apa tak mendapat kabarku? Ah sesak sekali.
Ini tidak adil. Mengapa kau mampu sedangkan aku tidak? Mengapa aku rindu sedangkan kau tidak?
Apakah pekerjaanmu di sana sangat menyita waktu dan pikiranmu terhadapku? Apakah benar sesibuk itu kau di sana?
Kau tau? Aku benar-benar sangat ingin menemuimu saat ini. Rasanya ingin sekali terbang ke tempatmu, untuk memastikan apa maumu. Namun, mungkin saja ini hanya perasaanku atau pikiranku karena aku sangat merindukanmu?
Day 6 without you. Kulihat kau seperti biasanya. Online beberapa kali, dan mengunggah story beberapa kali tentang kata-kata mutiara yang isinya mengenai lika-liku kehidupan.
Tiba-tiba saja tanganku memilih kontakmu, dan menekan tombol telepon. Aku sedang tak punya visi dan misi, juga malah tak punya tujuan saat menelpon. Semua hanya mengalir begitu saja.
Tak diangkat. Teleponku tak kau jawab, berdering, bukan menyambungkan.
"Oh mungkin sedang tak pegang ponsel."
Kulihat sekali lagi, ternyata online. Kuputuskan untuk menelponmu sekali lagi. Beberapa kali nada sambung berbunyi.
Tak diangkat lagi.
Mungkin dia sibuk.
Lantas kuletakkan ponselku dan kualihkan pikiranku dengan kegiatan-kegiatan lain untuk lupa dengan gamangnya perasaanku.
Aku berkemas, menata pakaian dan barangku yang hendak kubawa lagi ke perantauan. Iya, aku sudah tidak betah lagi di rumah. Ingin kembali ke rantau saja. Meski sebenarnya liburku masih beberapa hari lagi, namun kukatakan pada ayah ibu, aku mendapat kerja dadakan yang mengharuskanku untuk kembali berangkat ke perantauan.
Aku memilih meninggalkan rumah bersama rindu yang berantakan tak terarah. Terpaksa aku demikian karna aku tak mampu lagi menahan semuanya. Di sana banyak sekali kenangan yang tanpa kuminta datang bermunculan satu-persatu, di setiap sudut tempat, bahkan pada setiap barang yang pernah kau pegang.
Entah kenapa bisa secinta ini, hingga apapun tentangmu aku ingat. Tak terlewatkan sedikitpun.
Aku tau ini berlebihan, mengingat sikapmu yang biasa-biasa saja. Sejujurnya aku juga sama sekali tak ingin mencintaimu seperti ini. Karena membuatku tersakiti.
"Benar-benar harus pergi?" tanya ibu.
Aku menjawab dengan anggukan sembari terus menata koperku.
"Ada masalah?" tanyanya lagi.
Aku menggeleng dan tetap menata koperku. Ibu menghampiriku dan memegang tanganku. Ia menatap mataku. Dilihatnya aku berkaca-kaca. Dalam ia menatapku. Beberapa detik ia memandangiku dengan raut wajah seakan bertanya:
"Apa yang sedang terjadi?"
Aku tak mengatakan apapun, hanya memeluknya. Kupeluk erat, semakin erat semakin sesak, dan pecah. Aku menangis. Menangis seperti tersakiti. Menangis seperti lukaku dalam sekali. Menangis seperti aku kehilangan sesuatu dalam hidupku yang kuanggap sangat berarti.
Ibu menepuk-nepuk punggungku. Sesekali mengelusnya sambil berkata:
"Tidak papa. Semua sudah sangat baik. Kamu sudah melakukan yang terbaik. Kamu sudah melakukan sebisamu. Tak apa. Kamu adalah wanita terkuat yang ibu tau setelah nenekmu. Kamu wanita terbaik, dan selalu berbuat sebaik mungkin tanpa ibu memintanya."
Tangisku mereda. Aku masih belum buka suara. Ibu melepaskan pelukanku dan mengatakan:
"Ketika kamu mencintai seseorang namun sering merasakan sakit, berarti kamu mencintainya dengan berlebihan. Sebab, ketika kamu mencintai seseorang lebih dari pada mencintai dirimu sendiri, maka kamu akan selalu ingin diperlakukan spesial olehnya. Namun ketika dia tak dapat penuhi harapanmu itu, hatimu akan terasa sakit. Rasanya akan seperti hanya kamu saja yang punya cinta, sedangkan ia tidak."
Aku diam mendengarnya. Aku menyetujui perkataan ibu barusan.
"Ibu tidak memintamu untuk berhenti mencintainya. Hanya saja, cobalah beri cinta pada dirimu sendiri sebanyak cintamu padanya. Mungkin itu bisa meredakan semuanya."
Aku tak mengatakan apapun. Aku hanya mampu tersenyum dan memeluk ibu lagi.
•••
Kini aku memahami, kenapa sakit ini tak lekas mereda dan tak kunjung terobati. Sebab akulah yang membiarkannya terluka dalam tanpa berusaha menyembuhkannya. Ternyata luka ini bukan terbentuk karenamu. Ternyata sakitku ini bukan muncul karena sikapmu. Ternyata bukan kamu yang membuatku jatuh. Ternyata aku. Ternyata aku pelakunya. Adalah aku, manusia yang mencintaimu melewati batas, melewati kemampuanku, dan melewati rasamu padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Days Without You
RomanceSebuah usaha melupakan kebiasaan mencintai dan mengejar seseorang.