Author's POV
Gwyneth berjalan memasuki gerbang SMA Venerra, sekolah swasta favorit di sekolahnya. SMA Venerra bukan hanya terkenal akan murid - muridnya yang berprestasi dan guru - gurunya yang berkualitas, tapi juga fasilitasnya yang lengkap dan terawat. Bahkan bangunannya juga terkesan megah dan eksklusif, tak heran yang masuk ke sekolah ini kebanyakan adalah golongan atas. Bahkan untuk masuk sekolah inipun tidak mudah, seleksinya ketat sekali. Saking ketatnya sampai - sampai semua teman Gwyn di SMP tidak ada yang lulus seleksi. Gwyn sendiri masuk lewat jalur undangan, belum lagi ayahnya termasuk pendonor besar bagi yayasan yang menopang sekolah barunya itu.
SMA Venerra memiliki asrama sendiri, yang terdiri dari empat gedung. Asrama putri dan putra masing - masing memiliki dua gedung. Banyak siswa yang masuk ke asrama dengan beragam alasan. Dan terkadang beberapa siswa tidak bisa masuk ke asrama karena tidak ada tempat lagi. Tapi Gwyn memilih untuk tidak tinggal di asrama, ia tidak begitu suka tinggal ramai - ramai seperti itu. Menurutnya tinggal di asrama sama saja dengan tinggal di kos - kosan, hanya saja lebih elit dan peraturannya lebih ketat.
Gwyn menyusuri aula SMA, mencari papan pengumuman. Dilihatnya poster besar yang dipasang di papan tersebut, 'Selamat Datang Siswa Siswi SMA Venerra Baru!'. Di samping poster besar itu terpampang kertas yang berisi daftar nama, serta kelasnya masing - masing. Gwyneth Natalia (X-6).Ia tidak perlu repot - repot bertanya kepada kakak kelas atau OSIS untuk mengetahui kelasnya, karena ternyata kelasnya ada di lantai 2, tepat sebelah tangga.
Kedua kakiknya melangkah malas ke arah kelas X-6. Seperti dugaannya, tidak ada siapapun di dalam situ. Hanya bangku - bangku yang diletakkan di atas meja. Dad terlalu terburu - buru mengantarku karena ada rapat dadakan, seharusnya aku pergi sendiri saja, pikirnya. Gwyn langsung mengambil tempat yang ada di pojok paling belakang. Gwyn tidak akan terlalu menarik perhatian jika ia tidakk menonjolkan dirinya, oleh karena itu ia lebih memilih duduk di pojokkan.
Ia membenamkan kepalanya ke atas meja, sambil menunggu berlalunya waktu. Gadis itu sebenarnya ketakutan. Ia sekarang tidak memiliki seorangpun teman, apalagi sahabat. Tidak ada seorangpun tempatnya bercerita. Dia adalah seseorang yang menanggung seluruh kekhawartirannya sendiri. Gwyneth trauma memiliki sahabat, dan saat ia mulai belajar untuk bersahabat lagi, ia memilih untuk menjauh. Di saat yang bersamaan, ia juga melepaskan orang yang paling ia sukai. Kiel.
Beberapa orang sudah mulai memenuhi kelas, bunyi dari decitan sepatu dan bangku yang diturunkan sedikit mengganggu Gwyn. Ia mencoba untuk mengangkat kepalanya, di saat yang sama seseorang menepuk pudaknya dengan keras. Gwyneth terkejut dan berbalik ke arah orang yang menepuk pundaknya. Didapatinya seorang cowok yang bertubuh atletis, dengan wajahnya yang mirip seperti model Patrick Schwarzenegger tengah menepuk - nepuk pundaknya.
"Apa?" gerutu Gwyn sambil mengelus - elus pundaknya. Ia tidak mengenali orang itu, lantas kenapa pundaknya ditepuk?
"Gue duduk di sini oke?" cowok itu memandang tajam ke arahnya, ditunjuknya bangku yang ada di sebelah Gwyn. Mata Gwyn membulat, dilihatnya seisi kelas. Masih ada beberapa bangku yang kosong tapi kenapa ia memilih untuk duduk bersamanya? Dan sampai sekarang ia masih berdiri di sana, menunggu jawaban Gwyn.
"Tunggu bentar. Gue gak salah denger 'kan? Sebelah gue?"
"Iya, sebelah lo--," ulangnya,"--Tapi lu jangan salah sangka. Gue minta duduk di sini gak ada hubungannya sama lo," sambungnya pelan.
"Terus?"
"Terus, apanya?"
"Kenapa lo minta duduk di sini?" tanya Gwyn geram. Kalau tidak ada hubungannya dengan dirinya, lalu kenapa ia minta izin untuk duduk di sebelahnya? Dia seperti alien, umpat Gwyn dalam hati. Kini cowok itu menggaruk kepalanya, pastinya bukan karena gatal. Ia menurunkan bangkunya dari meja, lalu duduk di bangku itu. Ditatapnya Gwyn mata ke mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teach Me How
RomancePersahabatan itu seperti berdiri di atas semen yang masih basah. Semakin lama kau berdiri di situ, semakin sulit untuk pergi, dan kau tidak pernah bisa pergi tanpa meninggalkan jejak di situ. Lalu, kenapa bisa ada orang yang pergi di saat semuanya s...