Jari-jarinya berhenti di udara, menatap kosong pada makan malamnya yang baru keluar dari microwave dengan kepulan asap tipis.
Dari dapur, mata birunya bisa langsung menatap lurus pada pintu. Kamar orang tuanya. Pintu itu tertutup rapat. Menutup, meredam suara tangis yang pernah sayup-sayup dia dengar tadi. Ibunya mungkin sedang membekap wajahnya dan menangis sampai matanya merah. Besok pagi dia akan bangun dengan kantong hitam di mata dan senyuman yang selalu dipaksakan. Semua orang tahu dia frustasi, semua orang juga tahu mereka sama-sama frustasi.
Pagi harinya tiba lebih cepat dari dugaannya. Ibunya sudah memasak omlette yang lebih asin dari hari kemarin, kehilangan kemampuan memasak adalah hal wajar saat frustasi. Naruto duduk di meja makan, mengunyah makannya dan menelannya seperti menelan batu.
"Ayahmu sudah sadar. Dokter mengabarinya—."
"Aku ambil cuti sekolah saja. Menunggu ayah."
"Bicara apa kau!" suara ibunya meninggi, tangannya memukul meja dengan sendok dalam genggamannya, memandang geram pada Naruto yang mengalihkan pandangan "Sekolah itu penting, tidak ada yang mengambil cuti di tingkat SMP kecuali hamil. Kau memang hamil?"
"Menunggui ayah lebih penting, bisa jadi saat terakhirnya disaat aku duduk di balik bangku mendengarkan guruku menjelaskan percampuran larutan kimia yang sama sekali tidak bisa kumengerti. Aku masih bisa mendengarkannya mengoceh hingga akhir semester. Tapi ayah tidak punya waktu selama itu." Naruto membanting sendok, tatapannya teguh pada ibunya. Bocah SMP itu mendapati air mata tergenang di balik mata tajam ibunya.
Jeda. Ibu diam menatapi meja seperti orang linglung.
"Habiskan makanmu, lalu pergi ke sekolah."
"Bagaimana kalau aku menikah saja? Tidak usah sekolah dan menunggui ayah saja, masih sempat dia menjadi wali nikahku. Akhir bulan ini—."
"Sudah cukup! Makan dan pergi sekolah!" Ujar ibu lalu berdiri membawa piringnya ke dapur. Dia akan menghabiskan makanannya disana sambil menangis. Seperti itu nyaris setiap hari.
Dan Naruto menyendoki nasi dengan omlette-nya begitu rakus, lagi, lagi, lagi hingga perutnya penuh seperti buntalan karung. Air matanya mengalir sambil mengutuk omlette asin ibunya, meski baginya omlette itu kini terasa hambar tidak ada rasa asin atau pedas manis dari saus, rasanya justru pahit.
.
.
Naruto bolos sekolah. Menyusuri jalanan dengan lamunan setelah pergi ke rumah sakit diam-diam. Ayahnya masih tidur saat dia datang, ibunya belum datang mungkin masih sibuk mengurusi bisnis cathering-nya.
Tadi, tidak banyak yang dilakukan Naruto selain duduk di samping ayahnya dan berbicara sendiri, mengganti bunga di vas. Naruto berbicara mengenai ide pernikahannya, ibunya tidak mau mendengar sama sekali. Di masa depan ayahnya tidak akan bisa mendampinginya menikah, sehebat apapun mukjizat rasanya sungguh tidak sampai sebesar itu. Dokter bilang paling lama hanya 3 bulan. Kanker otaknya sudah sangat parah, separuh tubuhnya mungkin sudah habis digrogoti.
Naruto duduk di dalam Café, masih berpikir mengenai idenya dan kekesalannya kenapa dia harus berumur 12 tahun sekarang. Dia ingin lebih tua lagi agar cukup waktu untuk menikah. Green tea float dan kue di meja menjadi objek lamunannya, benar juga selain umur dia juga tidak punya pasangan. Dia butuh pasangan. Wanita atau pria, yang mana saja yang potensial. Tapi mengingat umurnya dia butuh pria saja sebab dia akan dijaga, masih terlalu kecil untuk menjaga seorang wanita.
Dia harus mencari secepatnya. Mengeluarkan smartphone dan mulai menelusuri sejumlah situs biro jodoh terpercaya. Berdecak karena sebagian tidak masuk standart layak untuk dirinya. Terlalu tua, tidak berprospek cerah, kurang stylist, semua foto dinilainya sekali lihat.
YOU ARE READING
The Aisle Groom
Short StoryNaruto, si Bocah, ingin menikah sebelum ayahnya meninggal, lalu melamar pemuda paling potensial yang ditemuinya di Café. Dan Sasuke, pria bertangan dingin yang memiliki segalanya tapi nyaris kehabisan waktu. . . The best love story is when you fall...