Dua

3 0 0
                                    

"Sial! Seharusnya lagu itu kan terkenal. Radionya aja yang nggak kekinian," cicitku pada radio berdaya baterai yang ada di meja kelasku. Kulipat tanganku di meja, dan dengan malas kuletakkan kepalaku di sana.

Sore itu, aku sengaja memilih tetap berada di ruang kelas dengan mendengarkan radio. Aku mencoba me-request suatu lagu, namun tak bisa diputar karena lagu tersebut tidak ada.

"Hahh lagu apa yang kau request itu Ta?" Tiba-tiba Ghafa berseru dari jendela di samping kananku. Aku menoleh malas ke arahnya, dan kembali memandang sendu radio yang ada di hadapanku. Aku tau, dia juga ikut mendengarkan radio dari handphonenya sembari menyirami percobaan kacang polongnya yang ada di belakang kelas.

"Aku tahu, selepas ini kau mengejekku," ucapku sengit.

"Dan kau sudah tau itu." Ghafa tertawa, "Paling yang tau lagu itu, cuma kamu Ta. Lagu orang nggak terkenal." Benar saja. Ghafa mengejekku dengan kalimat menyakitkan darinya. Biasanya, aku tak mau ambil pusing dengan hal itu. Tapi kali ini, rasanya aku terlalu berasap.

"Jika kau tak suka, diamlah. Kau benar-benar membuatku kesal!" Aku bergegas pergi setelah mematikan radio dan meninggalkannya tetap berada di meja, juga mengabaikan Ghafa yang tengah menempelkan wajah menyebalkannya pada kaca jendela. Anehnya, Ghafa tak merasa bersalah. Dia sama sekali tak merasa bahwa aku benar-benar marah dengannya. Dia tetap terkekeh mengejekku.

Aku menghentikan langkahku di depan greenhouse. Hampir saja aku lupa menyiram bunga aster yang aku tanam seminggu yang lalu. Segera kuraih tempat penyiram yang ada di dekat pintu masuk, lalu berjalan santai ke arah bunga aster yang berada paling ujung. Namun, sesuatu berhasil mengejutkanku. Sebuah bunga dandelion tertanam berada di antara bunga aster dan tergantung sebuah kartu ucapan di batangnya. 'Semoga dandelion ini selalu membuatmu tersenyum, Gita..' begitulah yang tertulis di kartu ucapan tersebut. Ini ulah siapa?

Gita GhafaWhere stories live. Discover now