US

652 43 32
                                    




Aku akan selalu mengingat malam dimana ia pergi...


Semua dimulai dengan indah.


Dia mengajakku menonton di bioskop dan setelahnya kami makan malam di restaurant yang bagus.


Belakangan ini kami memang memiliki masalah, dan kupikir ini adalah caranya untuk berdamai denganku. Dia menyunggingkan senyum kecil dan berbicara sangat sopan.


Aku adalah orang yang pendiam, berbanding terbalik dengannya. Dahulu Saint selalu mengisi kesunyian diantara kami dengan cerita dan tawanya. Hal yang tak pernah berhenti kukagumi saat mendengar suaranya yang merdu.


Tapi malam itu aku sadar ada sesuatu yang salah.


Dia benar- benar menjadi pendiam, serta menghindar untuk menatap langsung padaku.


Untuk menyelamatkan suasana malam itu, kukerahkan usaha terbaik untuk memulai percakapan, yang kuakui sangat sulit untukku. Kulakukan yang terbaik untuk membicarakan tentang hariku, walaupun aku tahu dia mungkin saja tak peduli.


Dipertengahan acara makan malam, aku berhenti bicara. Aku sudah kehabisan kata untuk diucapkan. Tanpa adanya suara kami, udara terasa semakin menyesakkan. Kesunyian terasa canggung dan tidak alami. Tanpa sadar belakangan ini, begitulah seluruh percakapan kami berhenti, awkward dan unnatural.


Sebelumnya, Saint dan aku selalu merasa nyaman berada disekitar satu sama lain, bahkan tanpa kata sekalipun. Aku mengingat saat itu aku berpikir, ada apa dengan kami? Aku membuka mulutku untuk berbicara, tapi dia menginterupsinya dengan cepat.


"Perth, ada hal yang harus kukatakan padamu."


Aku tunjukkan padanya wajah yang risau serta bingung, lalu kuanggukkan kepala padanya sebagai tanda untuk melanjutkan. Dia terlihat seperti sedang melakukan perang batin di dalam hatinya. Jelas, dia tahu apapun yang akan dia katakan pasti mempengaruhiku.


Tanganku beranjak ingin menggapai tangannya, untuk memberikan semacam bentuk dukungan untuk ketentraman hatinya. Namun dia menarik tangannya sebelum aku sempat menyentuhnya. Bahkan sebelum aku bisa merasa sakit atas tindakannya, dia berucap lagi.


Aku tak akan bisa melupakan kalimat yang keluar selanjutnya dari bibirnya malam itu.


"Aku sudah berselingkuh dibelakangmu."


Jujur saja aku tak bisa mengatakan padamu apa reaksiku saat mendengar itu.


Marah? Ya.

Kesedihan? Tentu saja.

Cemburu? Mungkin saja, tapi aku memang selalu merasa insecure.



Begitu banyak perasaan yang bercampur aduk dalam tubuhku. Aku ingat merasa pening dan tak bisa berkonsentrasi. Terasa seperti aku merasakan segalanya dalam waktu bersamaan, lalu tiba - tiba saja, kosong.


Harusnya semua emosiku ada disana, tapi gagal untuk kurasakan. Tidak ada apapun kecuali perasaan kebas. Seharusnya aku bisa bereaksi dalam berbagai cara. Berteriak seperti umumnya orang yang baru dikhianati, memukul atau bahkan menangis di depannya. Tapi yang kuingat lakukan saat itu hanya memandangnya dalam diam.


Sejujurnya aku sudah merasa curiga, khususnya beberapa bulan belakangan ini. Kapanpun kami bertengkar dia akan menghilang dan datang keesokan harinya dengan mata berkaca-kaca. Dia akan memelukku dengan erat sembari membisikkan kata maaf. Kala itu, aku pikir itu adalah permintaan maafnya untuk segala ucapannya saat kami bertengkar. Tapi sekarang aku tahu, itu untuk tindakannya diluar sana.


EVANESCENT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang