Part 11

231 14 0
                                    

Dunia berputar begitu cepatnya, manusia begitu cepat merubah hati dan pemikiran.
Siang berganti malam, petang berganti terang begitu saja seterusnya. Entah siapa pria di hadapanku ini, tiba-tiba datang sok kenal menyapaku.

"Zahra, 'kan?"

Aku hanya tersenyum mengangguk mengiyakan, harap-harap pria ini lekas pergi dari hadapan.

"Siapa ya?" Dahiku berkerut kebingungan, masih mencoba mengingat siapakah gerangan.

"Arka." Ia menjulurkan tangannya, aku tak bergeming masih mencerna apa maksudnya.
Juluran tangan? Bukankah berarti ia tak mengenalku sebelumnya ataupun sebaliknya.
Desakan orang dalam pasar memaksaku pergi menjauhinya. Pria itu hanya menatapku dalam, seolah mengatakan ia ikhlas melepaskan. Entah pemikiran apa yang baru saja ku pikirkan, tapi seperti itulah firasatku mengatakan. Pria itu tak lagi terlihat tertutupi kerumunan orang-orang.

***

Irisan bawang pada tatakan sudah selesai ku tuang dalam wajan, hanya tinggal menunggu matang dan selesai.
Pikiranku tak hentinya melayang pada kejadian kemarin siang, begitu banyak yang terjadi dari Risa yang tiba-tiba datang lalu minta maaf karena baru tahu bahwa selama ini dia berjalan dengan suami sahabatnya, hingga pada pria aneh yang menatapku dengan tatapan bak bawang, maksudnya menghujam.

"Sedang memikirkan apa, hum?"

Aku terlonjak kaget mendapati Mas Rizal memeluk tubuhku erat dengan menyanggah dagu pada bahuku. Aku hanya tersenyum melanjutkan aktifitas masakku.

"Tidak apa-apa, Mas. Hanya sedikit lelah saja."

"Yakin?" tekan-nya semakin memperdalam endusannya pada ceruk leherku. Ia jadi manja akhir-akhir ini, bahkan pagi-pagi begini ia sudah sibuk menempel padaku.

"Ada apa, sih? Kenapa manja begini. Aku sedang memasak, Mas."

"Tidak ada, hanya suka." Mas Rizal tertawa kecil. Aku mematikan kompor, berusaha menghadap padanya. Mas Rizal merenggangkan pelukan membiarkan lenganku mengalung pada leher kokohnya.
Aku sangat bersyukur mendapat imam seidaman dia, Maha Cinta benar-benar mengerti pada apa yang hatiku minta.

"Mas, kemarin ada seseorang yang menyapaku," tuturku masih dengan posisi sama.

"Lalu?" Tangannya kembali melingkar erat di pinggangku. Tak menyisakan sedikit ruang pada tubuh.

"Dia memperkenalkan namanya, tapi kami keburu terpisah." Aku tertawa pelan saat ia membawaku melangkah masih dengan gaya sama.
Mas Rizal diam tak lagi menyahutiku hingga sampai pada depan pintu kamar.

"Memang dia siapa?" tanyanya tak acuh sembari menutup pintu, tak sedikitpun Mas Rizal mengalihkan pandangannya dari manik mataku, aku jadi sedikit gugup dan tersipu.

"Aku tidak tahu. Namanya ... Arka," lirihku sedikit ragu.

"Pria?" Tatapnya berubah tersirat rasa kecewa disana, apa aku melukai hatinya?
Aku hanya mengangguk, masih menatap dalam mata hazel miliknya berharap dia tak salah paham pada perkataanku.

"Kau memikirkannya?" Mas Rizal melepas tanganku dari lehernya secara paksa, ia pergi pada arah dinding kaca menatap langit sendu penuh cerita. Caranya melepas gelayutanku tak kasar namun tersirat jelas goresan luka pada perilakunya.

"Mas, aku hanya menceritakan apa yang terjadi kemarin di pasar. Kau marah?" jelasku mulai menghampirinya.

"Tidak."

"Maaasss...," lembutku memeluk tubuh tegapnya dari belakang. Aku bisa merasakan detak suamiku yang tenang, jika seperti ini berasa dunia hanya milikku seorang.
Awan mendung menjadi saksi atas perbedaan mood di antara kami.

"Tidak usah cemburu." Aku mengintip manja dari balik lengannya, ia mendengus tak membiarkanku menikmati wajah tegasnya.

"Ya sudah kalau masih marah," pancingku memanyunkan bibir sembari menyandar mesra pada lengannya.
Kami hening, Mas Rizal masih tak mau mengalah pada amarahnya. Beberapa hari ini ia jadi mudah cemburu pada tiap lelaki yang iseng merayuku.
Awan membiarkan airnya menyapa pada tiap penjuru kota di sekitarnya. Aku bisa mendengar desahan pelan yang keluar dari kedua bibir tipisnya, mungkinkah dia lelah? Atau mungkin masih marah.

"Mas, apa kau masih marah?" Aku menatap netranya yang memandang pada arah apartemen di sebrang sana, sesaat kemudian ia balik menatapku lembut, menatap penuh arti akan turunnya hujan hari ini.

"Baiklah," malasku memutar bola mata menuruti permintaan tersirat pada senyumannya. Mas Rizal  menutup tirai di dinding kaca dia menundukkan kepala, sedikit mengangkat tubuhku agar pas pada wajahnya. Hingga pada akhirnya semua yang kami lakukan di menit lalu menjadi inti yang biasa laki-laki tuju. Sungguh ini yang pertama selama kami menjalin hubungan sejak beberapa bulan lalu.

***
Author pov


Untaian doa menggema di luasnya langit dunia. Tangannya menengadah meminta jutaan keinginan dalam dada pada Tuhan Maha Esa.
Buliran demi buliran jatuh membasahi tangan lembutnya, malam ini hatinya begitu gelisah.
Zahra terdiam dalam tangis tak ingin membangun Rizal yang masih nyenyak dalam dengkuran kecilnya.
Bisikan pujian Zahra lantunkan pada Al-Jabbar, meminta sebuah pentunjuk agar hatinya menenang.

Ia menangis semalamam, menghabiskan petangnya dengan Tuhan. Tak terasa panggilan pertemuan telah dikumandangkan, ia segera mengusap wajah dan bangkit dari simpuhnya menuju sang suami yang berposisi tengkurap.

"Mas, bangun. Sudah adzan subuh." Ia menepuk-nepuk lembut bahu suaminya, suaranya yang parau masih terdengar sangat jelas, mata sembabnya menjadi penyebab Rizal segera tersadar setelah beberapa kali mengerjap.

"Zahra ... kau menangis?" Rizal berusaha duduk, sembari berusaha menatap wajah istrinya dalam remang cahaya. Samar-samar terlihat gelengan cepat Zahra.
Rizal menghela napas, ia sempatkan mengelus lembut pipi sang istri sebelum beranjak menuju kamar mandi.


***

"Untukmu." Zahra mengerjap pelan pada juluran semangkuk sup yang dari harumnya adalah sup ayam.

"Zahra, kau mau, kan?" Wanita itu tersenyum memaparkan sederet giginya yang rapi. Zahra masih bingung dengan maksud wanita itu, tak mungkin jika jauh-jauh ia datang hanya untuk memberikan Zahra semangkuk sup ayam.

"Kau datang kesini hanya untuk mengantarkan sup ayam?" tanya Zahra sembari menerima.

"Ya," singkatnya tersenyum. Jawabannya tak memuaskan membuat Zahra ingin bertanya lebih dalam.

"Aku pindah ke apartemen di seberang sana." Tunjuknya pada gedung susun yang terlihat jelas dari arah Zahra berdiri. "Aku akan menjadi tetanggamu. Wanita itu tergelak, wajahnya yang cantik menampilkan kesan manis saat tersenyum ataupun tertawa lepas, ada rasa iri di hati Zahra.

"Kau mau masuk?" tawar Zahra hambar.

"Tidak, tidak. Aku buru-buru. Ya sudah, aku pergi dulu," tolaknya seraya melesat cepat, bisa di lihat arahnya menuju apartemen di ujung sana. Wanita berhijan syar'i itu masih mematung menatap Risa yang sudah tertelan mewahnya pintu kaca. Tetangga barunya adalah Risa.

___
UP!






Takdir Cinta [BAKU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang