PRILLY
"DIGO!!!", aku berteriak sekuat tenaga.
Aku terduduk menatap kegelapan di sekelilingku. Napasku tersengal dan aku merasakan peluh membanjiri sekujur tubuhku. Kedua tanganku menggenggam erat selimut yang kini tak lagi menutupi tubuhku. Aku mengedarkan pandangan ke sekelilingku. Aku berada di kamarku, pikirku lagi. Mimpi itu lagi, aku berkata dalam hati.
"Prill? Lo kenapa?", aku mendengar Thea membuka pintu kamar.
Ia menyalakan lampu dan menghambur ke ranjangku. Ia menatapku yang masih tersengal dan berkeringat.
"Mimpi buruk.", jawabku singkat.
"Ya ampun, mimpi buruk lagi?.", aku melihat kekhawatiran di wajahnya.
Aku melempar senyum yang sedikit kupaksakan.
"Lo mau gue temenin?", tanyanya padaku.
"Ngga. Gue ngga apa-apa kok. Sorry ya ganggu tidur lo.", jawabku menenangkannya saat dirikulah yang sebenarnya perlu ditenangkan.
"Yaudah, gue balik ke kamar ya. Lampunya dimatiin lagi ngga?", tanya Thea dari pintu kamarku.
"Tolong matiin aja, The. Makasih ya.", kataku lagi sebelum ia tersenyum dan menghilang di balik pintu kamarku yang menutup perlahan.
Aku kembali merebahkan tubuhku, menatap kosong ke langit-langit kamarku. Aku mengingat lagi mimpi yang datang menghinggapiku. Sudah beberapa hari ini aku terus dihinggapi mimpi-mimpi aneh. Aku menyentuh bandul kalungku dan memain-mainkannya, seperti yang biasa kulakukan ketika aku gugup atau berpikir keras.
Mimpi tadi begitu nyata, sama seperti mimpi-mimpiku sebelumnya. Bukan seperti sebuah cerita yang utuh. Namun potongan-potongan gambar yang tidak jelas namun masih lekat dalam ingatanku. Aku berada dalam sebuah ruangan seperti ruang kelas, saat aku menoleh aku melihat Ali di sebelahku. Aku yakin itu Ali. Namun tatapannya begitu dingin kepadaku.
Aku juga melihat Ali menoleh ke arahku, menyebutkan Digo sebagai namanya. Digo? Bukankah saat itu aku hanya salah memanggil nama Ali? Aku juga melihat potongan gambar saat ia memanggilku Sisi. Sisi? Bukannya itu penggalan namaku yang disebutkan Ali saat pertama kami bertemu? Siapa Digo? Mengapa wajahnya sangat mirip dengan Ali?
Mengapa aku melihat Digo itu memiliki sayap besar kehitaman di punggungnya? Aku juga sempat melihat diriku sedang menatap sebuah cermin. Aku melihat bayanganku yang mengenakan dress pendek berwarna putih, namun aku melihat sepasang sayap berbulu berwarna putih melengkung di punggungku. Aku melihat wajahku yang terkejut dan mataku membelalak. Terlebih saat aku melihat seseorang memanggilku Sisi, dan membuatku mengalihkan pandanganku dari cermin. Aku memijat pelan pelipisku kepalaku serasa berdenyut.
Apa aku terlalu banyak membuat cerita fiksi dan khayalan hingga semuanya bercampur dan memusingkanku? Kalau iya, kenapa semuanya terasa begitu nyata? Aku menoleh menatap sehelai bulu merak yang tempo hari kudapat dari kebun binatang. Mengapa tadi aku melihat diriku menyentuh bulu yang hampir sama sambil menatap keluar jendela?
Aku memejamkan mataku. Berusaha mengusir bayangan-bayangan mimpi yang memgangguku. Aku memaksa diriku untuk kembali tidur. Besok aku harus bersiap untuk melanjutkan syuting filmku. Kegugupanku memikirkan adegan romantis yang akan kulakukan dengan Ali, sedikit mengalihkan perhatianku dari mimpi buruk tadi. Meskipun mimpi itu masih jelas terbayang dalam ingatanku dan bisa menghantuiku kapan saja aku teringat.
------------------------------------------------------
Aku menatap lembar skenario di tanganku. Membaca ulang dialog scene ku dan Ali hari ini. Namun aku kehilangan fokus mengingat banyaknya scene romantis yang harus aku lakukan dengan Ali. Aku berdecak kesal, ada rasa gugup yang membuatku duduk tak tenang di kursi malas yang khusus dibawakan Thea agar aku nyaman menunggu take.
Aku bangkit dari kursiku, menatap Thea yang sibuk dengan PDA dan teleponnya, menjawab pertanyaan-pertanyaan media tentang rilis film yang diangkat dari novelku ini. Tak jarang ia mengetik sesuatu di PDAnya sambil berbicara dengan ponsel yang dikepit di bahu dan telinganya. Ia tampak sibuk sekali, tetapi ia berkata padaku bahwa ia sangat senang dengan kesibukan baruku yang juga berarti kesibukan baru baginya.
Aku kembali menatap lembar skenario yang membuatku frustasi, sebelum aku merasakan sesuatu yang hangat melingkari pinggangku, mendekapku hangat dari belakang. Aku menoleh kaget melihat wajah Ali, ia menyandarkan dagunya di bahuku.
"Aku ngga bisa jauh-jauh dari kamu...", aku mendengar suaranya lirih di telingaku.
Darahku berdesir dan jantungku berdetak cepat.
"Aku ngga bisa, Farah.", lanjutnya lagi, menyebutkan nama tokoh yang kuperankan.
Aku hampir saja merasa bahwa kata-kata Ali begitu nyata untukku. Tapi aku teringat, ia seorang artis, aktor terkenal. Aku menyalahkan kebodohanku yang sempat ge er dengan perlakuan Ali kepadaku. Aku sempat melihat Thea dan Kak Riri menganga menatap kami berdua. Grasak-grusuk yang ditimbulkan oleh fans Ali yang selalu mengikuti kami syuting juga sedikit mengganggu, namun tampaknya Ali tak peduli.
"Kok diem? Dialog lo mana?", bisik Ali di telingaku.
"Aku ngga bisa jauh dari kamu..", aku mengucapkan dialogku.
Aku memutar tubuhku menghadapnya. Melepas kacamata hitam yang menghalangi pandanganku ke matanya yang tajam. Aku menatapnya dalam. Menangkup wajahnya dengan kedua telapak tanganku. Aku tak tahu mengapa tapi semuanya begitu mudah kulakukan, seperti mengalir begitu saja. Aku melihat keterkejutan dan kegugupan di matanya, aku menikmatinya.
"Aku ngga bisa kehilangan tatapan kamu, Mada.", aku melanjutkan dialogku.
Aku melihat Ali menghela napas panjang. Aku melepas tanganku dari wajahnya dan mengangkat sebelah alisku ke arahnya. Ia tersenyum frustasi.
"Nah! Begitu Ali, Prilly. Itu udah betul. Nanti pas take harus kayak gitu.", aku mendengar Om Reza berteriak kepada aku dan Ali.
Aku dan Ali hanya mengangguk dalam diam. Napasku masih memburu karena debar jantung yang disebabkan pelukan Ali tadi. Aku melihat Thea yang mengangkat kedua jempolnya ke arahku, serta Kak Riri yang bertepuk tangan tanpa suara dan tersenyum ke arah kami. Aku menghela napas lega, mungkin seharusnya aku tak perlu terlalu khawatir. Sepertinya tidak akan terlalu sulit, pikirku.
------------------------------------------------------
KAMU SEDANG MEMBACA
wings of alter ego
FanficDigo dan Sisi dikirim ke bumi oleh Raja Oskya. mereka harus meninggalkan nightingale. cinta mereka diuji untuk bisa bersatu. identitas mereka diganti, sifat mereka ditukar. akankah mereka bertemu? akankah mereka mengingat satu sama lain? atau bahkan...