Bagian 1

18 1 0
                                    

Kereta bukanlah hal asing bagiku. Bukan, bukan karena Aku sering bepergian dengan daya mobilitas tinggi. Justru Aku adalah anak rumahan yang suka malas-malasan. Kereta jadi tak berkesan karena rumah dan stasiun yang berdekatan. Kata ibu, suara kereta itu menggangu tapi tidak buatku. Buktinya Aku masih bisa tidur nyenyak hingga shubuh jadi tak layak. Ah sudahlah.

Jadi ceritanya begini, pagi-pagi buta; selepas shubuh Aku berjalan seorang diri menuju stasiun. Tujuannya singkat, pergi ke Bandung lalu pulang lagi. Terserah di antara perjalanan akan ada apa, yang jelas Aku akan menulis saja. Singkatnya, kereta tiba pada waktunya. Lantas Aku berjalan ke setiap gerbong dan berharap ada kursi kosong. Aku berhenti di gerbong ketiga, melihat kursi kosong dekat seorang wanita. "Kursi ini kosong?" tanyaku. Dia menoleh, mengangguk lalu menatap jendela kembali, Aku duduk saja. Dari tempat Aku duduk, jendela tepat berada di sebelah kiri dengan ditambahi meja kecil yang Aku pun tak tahu untuk apa karena kecil sekali ukurannya. Mungkin untuk menyimpan perasaan yang tak terbalaskan, eh. Di bangku depan terisi oleh seorang Ibu dengan dua orang putrinya, satu dalam pangkuan dan satunya lagi duduk menyender ke bahu Ibunya.

Selang berapa menit, klakson kereta berbunyi nyaring bersamaan doa yang mengiring. Bismillah. Sesuai janji, Aku mesti berpuisi. Aku mulai memperhatikan sekitar, siapa tahu ada ide berpendar. Satu, dua menit Aku memperhatikan dan hanya kebingungan. Seret inspirasi buatku membuka buku lagi. Tetiba gadis di sebelahku menoleh dan berkata, "Kamu suka Chairil Anwar juga?" Refleks Aku mengangguk, dia malah tersenyum. Tanpa diminta dia bercerita tentang sosok idolanya, bagaimana dia jatuh hati pada puisi-puisi hingga terjun dalam industri kreatif yang imajinatif juga penuh fiktif. Aku hanya sesekali menimpali. "Sebentar," potongku. "sebelum terlalu jauh, namaku Atlasa Bagja. Kamu?" lanjutku seraya memperkenalkan diri. "Alyssa Billa, nama pena harus dijawab dengan nama pena bukan?" senyum mengakhiri jawabannya. Aku hanya tertawa mewakili kejut di dada. "Namamu ada di daftar penerbit." katanya lagi. Ah pantas saja.

Asyik bercakap buat waktu senyap tak berucap, tetiba mentari terbit dari ufuk timur menembus cakrawala. Bias emas jendela kereta dan, wajahnya berbinar buatku bergetar. Ah Tuhan, ada apakah ini? Dia menunjuk mentari pagi diselingi tiap filosofi, sedang Aku menatapnya penuh hati-hati. Detik makin mencekik, kala dia pun ikut melirik menutur pelik. Mata ketemu mata, jantung bergebup kencang rasanya. Senyum dibalas senyum, buatku makin kagum.

Laju kereta melambat sebelum benar-benar berhenti di muka Stasiun Kiaracondong. "Aku turun disini. Kamu mau kemana?" tanyanya sedikit berteriak. Aku hanya tersenyum. "Mau bertukar kontak?" tanyanya lagi. Aku hanya menggeleng. Dia tersenyum, pamit lalu berjalan menjauh di balik kerumunan manusia.
.
"Alyssa Billa!" teriakku di pintu kereta... (bersambung)

-Ada di Antara-
Pagi-pagi buta
Di gerbong kereta
Tuhan menakdirkan
Sebuah pertemuan

Hingga bias emas mentari pagi
Menyelap jendela menembus mata

Binar wajahmu
Buatku diam membisu.
Makhluk Tuhan cantik.

Namanya Alyssa BillaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang