BAGAIMANA jika kamu memiliki abilitas untuk kembali ke masa lalu? Akankah kamu berupaya mengoreksinya sembari merusak lini waktu, atau berdiam diri sambil mengamati realita terhampar pelik dan sekali lagi membiarkan hari depan berpendar gelita?
Aku tidak pernah begitu bingung menghadapi satu inkuiri sederhana semacam itu, beberapa orang agaknya akan memilih untuk memperbaiki, beberapa hanya mengalah kemanapun takdir menuntun.
Tetapi, aku bukan keduanya.
Ada begitu banyak friksi yang berkisar tegang di dalam diriku lantaran semuanya terhubung satu sama lain, dan entah bagaimana, sebagian dari akal sehat tidak ingin mengubah apa pun.
Ya, masa lalu keluargaku mungkin bukan yang paling membahagiakan, namun ada saat-saat di mana segala sesuatu terhempas eksak pada tempatnya, utuh dan baik-baik saja. Kami pernah bahagia, kami pernah di sana, merambah eden tanpa eksistensi senyum palsu atau mata lelah atau kerinduan yang nyaris membuat jiwa malfungsi.
Tetapi, itulah permasalahannya, kita tidak bisa bahagia selamanya, bukan? Dan jika gagasan dari istilah itu sendiri sama artinya denganku yang harus bercokol konsisten di balik bayang-bayang Esme dan tidak pernah mengenal Park Jimin, mungkin lain waktu saja.
Barangkali ini bukan dunia atau realita yang kudambakan sejak kecil, namun horizon tidak jemu membentangkan lanskap dikara atas memori perjalananku hingga detik di mana alam semesta memutuskan untuk mengambil sukacita dariku lantaran sudah mencecap jumlah yang kelewat eksesif.
Tidak seharusnya aku melayangkan protes, bukan? Semua yang terjadi, itu hanya siklus kehidupan, seperti sewaktu kecil saat aku membangun kastil di pantai semata-mata untuk memperhatikannya diratakan oleh gulungan ombak. Hidup memang seperti itu, bukan?
Beberapa hal dapat menjadi sangat baik, namun sebagian akan tetap rusak. Tidak peduli seberapa keras kamu menampik predestinasi supaya berhenti mengecewakan, berupaya memperbaiki cara hidup agar mempunyai epilog sedikit lebih baik, terkadang separuh hal hanya tidak layak lagi untuk diperbaiki.
Kendati terjebak pada jawaban yang belum mampu kutemukan, aku masih memiliki kewajiban lain untuk dijalani. Sayangnya, tampak mustahil memecah fokus antara drama dan edukasi setelah dua minggu yang genting dan kosong telah menguras banyak vitalitas sehingga aku tidak dapat menahan netra tetap terbuka saat menghadiri kelas.
Jimin masih menghindar dan bungkam, tidak menyisakan bahkan berusaha mencuri tatapan, tidak meninggalkan pesan atau sekadar berkunjung, dia benar-benar menjalani hidupnya seolah hubungan kami tak lagi mengantongi nilai signifikan.
Tentu, keseluruhan diriku terluka imbas perlakuannya, tetapi aku membiarkannya, mungkin dia membutuhkan itu. Waktu dan konteks aktivitas tanpa seorang Emori.
"Nyenyak sekali, ya." Sayup kudengar vokal Imogen merangsek rungu, tidak ingat bagaimana aku berakhir tertidur, namun sejak tadi memang tingkat kesadaran sudah di ujung tanduk. Ada satu yang janggal, tempat bertumpu kepalaku terasa lembut dan muskular di saat yang bersamaan, tetapi aku tidak memaksa untuk segera mengerjapkan mata. Instingku hanya berkata agar menguping konversasi pasangan ini. "Kalau seperti ini, Emi terlihat sangat damai."
"Seperti anak kecil," sahut Taehyung, terkekeh puas. Ada sengatan tremor ketika dia tertawa, menggelitik isi abdomenku. "Susah sekali menahan tawa ketika mengamatinya menahan kantuk, kepalanya saja hampir terbentur meja apabila aku tidak menadahkan tanganku."
"Masuk akal, sih. Ini Profesor Dolores," timpal si lawan bicara. "Wanita itu sudah 90 tahun."
Nyaris tersentak dan membuyarkan kamuflase, aku merutuki Taehyung dalam hati setelah jemarinya mendadak bersentuhan dengan permukaan epidermis, membuatku berpikir ulang sebab terakhir aku ingat, posisiku tidak seperti ini. Sudah jelas, badanku tergeletak di kursi panjang dengan kepala berihat di atas pangkuan Taehyung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Quarterback
Fanfiction❝I'm truly sorry, but it's time you got to be your own quarterback.❞ ──────────── Park Jimin • Female OC © yourdraga 2020