13 - The Gospel of Esme

200 49 80
                                    

JIKA aku bisa menguraikan beberapa opsi destinasi, aku mempunyai hotel, resor The Park, hostel apung di Teluk Mobile, area istirahat dengan sentuhan era Georgian, restoran kecil kuno yang menyambut semua orang dengan lantunan musik Yunani, atau karavan Taehyung dan Imogen.

Semua tempat itu adalah pilihan bagiku untuk bermalam, namun tetap memiliki presentasi tinggi untuk mereka melacak presensiku. Hari ini hari yang cukup melelahkan dan memusingkan, dan rumahku atau rumah Kak Seokjin bukan termasuk tiket kepulangan.

Apakah aku sedang melarikan diri? Tidak, tidak juga. Aku hanya bersikap waspada terhadap orang-orang yang memiliki aspirasi untuk menyakitiku.

Ya, percaya atau tidak, itu juga melibatkan diriku.

Aku memang bukan individu yang mudah terhipnosis mengambil jalan pintas, tetapi dengan semua orang tampak berpaling dariku, itu menjadi terasa seperti kesia-siaan. Hidup, keseluruhan definisi eksistensi itu sendiri, mendorongku berpikir apa artinya.

Apakah karena kita selaku manusia ingin benar-benar hidup? Ataukah karena Tuhan menganggapnya wajib?

Entahlah. Pikiranku sudah tertumbuk kacau hingga memunculkan diskusi yang tidak perlu dan bersifat hiperbola. Tetapi sejujurnya, tidak ada yang menyangkal bahwa aku mampu membereskan serangkaian blunder ini dengan simpleks, berbicara dengan Jimin dan kemudian, melupakan.

Mengapa kedengarannya begitu mudah ketika hanya berwujud gelembung angan?

"Bodoh sekali," gumamku selagi menyandarkan tubuh ke kursi.

Mentari perlahan melebur dari singgasana horizon, membiarkan molekul dan partikel kecil di atmosfer mengubah arah binar cahaya hingga menghasilkan corak biru dan ungu. Ingin sekali kukagumi senja, tetapi bagaimana? Itu indah, namun menakutkan. Pengingat spektakuler bahwa lanskap apik jenis apa pun merupakan kamuflase.

Karena setelah petala adiwarna tersebut, tibalah malam temaram.

Ya, saat memiringkan kepala ke atas, aku memang bisa melihat dengan jelas jutaan asterik memarkahi kanvas hitam, bagaimana cakrawala menyediakan koloseum untuk rembulan berpendar absolut, tetapi itu tetap tidak memagari fakta bahwa keindahan dari interaksi atmosfer tersebut hanya sekilas, cepat berlalu seakan-akan ingin mengingatkan kepada semua individu bahwa tidak ada yang permanen.

Dan mendadak itu membuatku berpikir, apakah waktu dan hubunganku dengan Jimin juga tidak seharusnya permanen?

Tidak, tidak bisa.

Aku telah menginvestasikan seluruh perasaanku dalam hubungan kami. Tidak, ini bukan diriku memohon balasan, aku hanya meminta agar selalu ada kami sampai akhir. Tendensi seseorang meninggalkan kehidupanmu amat kolosal, hubungan apa pun bisa berakhir, tetapi Jimin? Dia bukan hanya potret seorang kekasih, dia adalah sahabatku, pemuda yang tidak pernah pergi kendati nyaris semua orang menghasutnya.

Presensi Jimin harus permanen, dia tidak boleh pergi.

"Tapi, bagaimana jika itu yang sebenarnya dia inginkan?" Anggapan itu terasa pahit di lidahku, membentuk genangan kepedihan di sepasang netra.

Bagaimana jika selama ini, tanpa sadar, aku memaksakan dirinya untuk tinggal demi keuntunganku sendiri? Apakah ketika aku tidak memperbolehkannya pergi, itu sama saja dengan aku mengikatnya terhadap sirkulasi penderitaan yang kualami?

Tetapi, bahkan jika aku tahu aku harus melepaskannya, aku tidak bisa.

Sebab Jimin sangat penting untukku, dia segalanya bagiku.

Demi Tuhan, Emori, kamu tidak bisa egois lagi.

Kalimat itu bergema, terpantul dengan kejam dalam benakku. Meski ada kesempatan bagi Jimin untuk meninggalkanku, entah mengapa aku cukup yakin dia tidak akan mengambilnya.

QuarterbackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang