HITAM pekat di malam hari tidak pernah merancang nyaman. Ya, sebongkah ketenangan memang sesekali menjalar, tetapi tidak membuat siapa pun merasa kurang kesepian. Kendati konstelasi berhimpun menyerupai elips yang megah, itu masih terlihat suram seakan-akan tidak ada fenomena eksistensi.
Aku mencoba bersikap biasa saja terhadap segala hal, terutama tentang wanita tanpa nama di Arboretum, kemudian perihal Jimin dan Esme. Isi kepalaku enggan bersauh, sungkan harmonis, semua abstraksi dan konklusi benar-benar tidak ingin berkompromi barang satu sekon. Dan sejujurnya, itu membuatku kian impulsif guna melupakan.
Setidaknya, hanya semalam.
Awalnya kupikir terlelap di kapal adalah salah satu caranya, dengan segelas brendi, angin larut serta desiran air membentur satu sama lain terdengar nyaris sempurna. Hanya saja, itu pemikiranku sebelum terlalu antusias dan berakhir lupa daratan, dan aku melakukannya di hadapan seorang dosen.
Tidak heran saat tersadar di pagi hari, terperanjat, lekas menjumpai pengar dan dihardik oleh iluminasi mentari, aku benar-benar tampak seperti orang bodoh.
Maksudku, pertama, siapa yang menganggap serius perkataan seseorang padahal sebenarnya, dia hanya mengotak-atik kata? Lalu kedua, mabuk di waktu yang kurang tepat? Wah, sebenarnya, apa yang sudah merasuki diriku?
Ya, setelah Namjun mendeklarasikan perihal aku telah hidup dengan hantu selama ini, aku langsung enggan memijakkan kaki ke dalam rumah. Karena apabila benar, maka rumahku benar-benar angker. Setiap sudut rumah memiliki cerita, memori yang menghantui, dan semua itu tidak akan membantu jikalau aku memang ingin melupakan.
Aku mengerang, mengusap mata dan wajah gusar sebelum menelisik penampilan pada kamera ponsel. "Astaga, memalukan sekali."
Surai kusut yang nyaris serupa sarang, seberkas air liur kering terselip menjijikkan di ujung bibir, lingkar hitam tertera kentara seolah aku belum tertidur selama sepekan, dan pening yang menghunjam kranium hampir mendominasi keinginan untuk bangun.
Pun aku melawannya sembari mengamati sekeliling, dan seperti biasa, pagi terus bergulir tanpa diriku, dinamis tanpa peduli bahwa aku masih hidup bersama malam. Jagat raya, warga sipil, mereka menjalankan aktivitas tanpa mengetahui satu jiwa belum mengantongi epifani mengenai siklus elusif semua orang di sekitarnya.
Ah, persetan dengan itu. Bukankah seharusnya aku sedang berupaya tidak acuh terhadap segala hal?
"Oh, syukurlah, kamu sudah bangun. Saya harus ke universitas sekarang, ada rapat yang akan dimulai sebentar lagi." Suara Namjun sukses mengejutkanku, aku segera menengok ke arahnya dan menemukan dia sedang berjongkok di tepi dek sembari merentangkan kantung berwarna putih. "Ini, ambil beberapa Advil."
"Lho, masih di sini? Saya pikir kamu sudah pulang semalam?" tanyaku, segera meneguk dua butir disusul oleh air mineral yang refleks menumpaskan kering di kerongkongan.
"Dan meninggalkanmu sendirian?" Namjun terkekeh, kedua iris mengamati gerak-gerikku dengan saksama. "Kamu mabuk, apa pun bisa terjadi apabila saya tidak ada di sini untuk berjaga-jaga."
"Ah. Kamu benar, kita harus berhenti bertemu seperti ini." Aku mendesah, melirik arloji yang menunjukkan sudah pukul delapan. "Astaga, saya membuatmu kesiangan!"
"Tidak apa-apa." Namjun mengulurkan tangan kepadaku, aku mengernyitkan dahi dan menatapnya bertanya-tanya. Ketika aku masih sulit untuk merespons, dia hanya berdecak geli dan mengambil lenganku guna menarik diriku keluar dari kapal. "Setidaknya, lanjutkan istirahatmu di dalam rumah. Jangan di sini, saya harus pergi."
Namjun segera memastikan kedua tungkaiku berpijak dengan benar terlebih dulu sebelum melepas genggamannya, jikalau sedang tidak terdistraksi oleh gagasan kembali ke rumah, aku mungkin akan kolaps lantaran tingkat kepeduliannya menjulang drastis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Quarterback
Fanfic❝I'm truly sorry, but it's time you got to be your own quarterback.❞ ──────────── Park Jimin • Female OC © yourdraga 2020