16 - How We Get to Peace

102 29 17
                                    

Halo author's note-nya di awal, ya!

Sebelumnya, aku mau minta maaf karena cukup lama gak update. I'm gonna be honest, aku sempat ragu untuk lanjutin buku ini, karena kupikir mumpung pembacanya sedikit jadi bisa discontinued tanpa harus kepedean ada yang nyariin haha. Tapi aku ingat kalau aku mulai buku ini ya karena pengen aja, bukan karena angka atau fame.

Dan mungkin beberapa dari kalian ngerasa bosen sama buku yang heavy narasi, cuma sayangnya aku gak bisa apa-apa soal itu sebab heavy narasi sudah jadi ciri khas aku dalam menulis sebuah cerita, jadi untuk kalian yang gak nyambung sama ceritaku entah karena heavy narasi atau plot-nya yang rumit dan membingungkan ya jangan dipaksain lanjut, aku gak marah kok kalau kalian stop baca, it's your choice after all.

Untuk yang masih stay dan nunggu buku ini update, terima kasih! Kalian alasan utamaku tetap punya semangat lanjutin Quarterback sampai selesai, I love all of you sm

Stay safe and wear a mask, hooligans!

Stay safe and wear a mask, hooligans!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





────────────



SELEBRASI dan seruan penuh antusiasme mengitari atmosfer di stadion Ladd-Peebles, area emeraldin yang ekstensif tampak berupaya mengimbangi jumlah individu di atas permukaan. Gemuruh drumben, suporter, pemandu sorak pun berbaur tidak mau kalah, terdengar gaduh dan berapi-api seolah ini hari terakhir mereka menyaksikan pertandingan futbol. Tetapi, cakrawala tidak menganut impresi selaras, terlihat dari kumparan kapas kelabu bertengger kaku di atas, sesekali menguapkan raksi petrikor sebagai simtom.

Agak aneh mengingat Agustus seharusnya menjadi awal musim kemarau panjang yang akan berlangsung selama sembilan bulan ke depan. Ya, Fairhope memiliki dua klasifikasi musim kemarau, basah dan kering. Puncak curah hujan semestinya mereduksi setelah tanggal 26 Juli, tetapi kelihatannya iklim sudah kacau akhir-akhir ini.

Mengedarkan pupil ke sekitar seraya menghembuskan napas berat, aku cukup mengerti bahwa kompetisi ini sangat signifikan, namun tidak pernah kuduga setiap orang di Fairhope serasi kontributif untuk hadir. Bahkan dari luar kota pun rela datang demi mendukung Universitas California Selatan, menciptakan kerumunan yang benar-benar masif.

Seluruh audiens bercengkerama, mengambil gambar, membandingkan, bertaruh antar dua tim, semuanya terjadi begitu saja hingga aku bertanya-tanya mengapa aku repot singgah apabila hanya berdiam diri di bagian paling tersembunyi dari sorot atensi. Dengan kapasitas terbatas dan payah dalam menangani kerumunan, batinku tak henti merutuk sebab agorafobia yang kuderita masih terus mengusik dan merusak momen.

Setidaknya, lima kali aku menyesali keputusan berada di sini setelah semakin banyak individu berdatangan, berdesak-desakan, dan bersirkulasi di seputar gravitasiku. Haruskah aku berkoar betapa menyebalkannya saat mejumpai komplikasi dalam bernapas dan merasa seperti akan kolaps setiap waktu?

Ya, memang tidak semua orang memahami kehidupan seorang agorafobik, dan aku tidak menyalahkan mereka. Aku hanya ingin mereka mengetahui bahwa itu sangat menjengkelkan menghadapi prahara di dalam diri sendiri, merasai fluktuasi yang menuntut, menghantam relung seakan-akan ada luapan air es mengungkung setiap organ tubuh.

QuarterbackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang