18 - Bitter Harvest

177 30 15
                                    

SUASANA kelam melingkupi Arboretum, bersisian dengan keheningan yang terlampau mencekam. Antariksa memindai turbulensi kacau yang mengendap dalam jiwa setiap individu, kolosal kelabu menggumpal berhimpitan seakan-akan turut menyaksikan klimaks, dan sesegera mungkin, mereka mulai menangis.

Tungkaiku melekat kaku di atas permukaan bentala, manik bergetar mengamati lanskap di hadapanku, bergidik ngeri simultan dengan rinai hujan membasahi seluruh badan secara brutal. Sepukal impetus guna merilis jerit tertahan kering di kerongkongan, aku mencoba untuk membuat semua ini masuk akal, namun segala sesuatu di sekitar terdistorsi tidak menentu, pikiranku masif dengan skenario menyayat hati ketika sekilas mengerling cucuran luntur likuid merah berfusi dengan air hujan di pelipis Jimin.

Aku tidak bisa mengobservasi romannya dengan jelas, tetapi menganalisis dari gestur, Jimin tampak sudah menyerah. Jersei yang dia kenakan terlihat redup dan kuyup, sama sekali tidak merefleksikan figur quarterback yang kukenal. Jimin di sini hanya mengungkapkan definisi fragil, satu yang sangat membutuhkan proteksi.

Dan hanya begitu saja, setiap batang tubuhku bergerak secara otomatis berlandaskan kata-kata yang Hoseok ucapkan beberapa pekan lalu.

Jangan lengah, sebab Jimin akan sangat membutuhkanmu.

"Emori, berhenti! Dia memiliki senjata!"

Gaung prohibisi Namjun terabaikan oleh rungu, aku sudah terlanjur berlari dengan benak yang kini hanya terpaku untuk melindungi Jimin. Barangkali saat ini, keseluruhan psike sedang terkoyak remuk, tetapi apabila seseorang berusaha menyakiti Jimin, aku tidak akan segan melemparkan tantrum pada mereka.

Jimin adalah kesedihan dan harapanku, dia adalah cintaku. Jika seseorang memiliki intensi untuk menyakitinya, orang itu harus menyakitiku dulu.

Kendati rintik tirta menggasak agresif hamparan hijau, derap langkahku masih berdengung menandingi gemuruh petir hingga menarik atensi kedua faksi. Refleks kami mengunci kontak mata, tatapan Jimin sungguh elusif, kosong namun mengekang begitu banyak sentimen.

"Jim—"

Sekilas, deragem itu ditempa oleh amarah dan ketakutan tatkala Jimin berbicara parau, "Pergi. Jangan membuat ini lebih sulit."

Apabila kami berada di situasi divergen, aku mungkin akan tersinggung sebab Jimin sekali lagi ingin aku tidak ambil bagian dalam konflik ini. Tetapi, tidak peduli seberapa keras dia mencoba, masa lalunya tetap terhubung denganku. Esme merupakan kompanyonnya sebelum diriku, jika aku tidak bisa mencegah kematian kakak perempuanku, bertaruhlah aku akan menghalau mortalitas mengusap jengkal epidermis Jimin.

"Apa kamu merasa sakit?" Anggukan Jimin lemah, dia menundukkan kepala seolah merasa sangat patetis. Namun, itu justru kapabel melampiaskan agoni yang membuat darahku mendidih geram. "Katakan padaku bagian mana."

"Seluruh tubuhku."

"Sudah sepatutnya." Sesaat di sana, aku nyaris melupakan kehadiran wanita itu. Tangannya yang terulur meregangkan senjata, membidik tepat di kepala Jimin kian membuat rahangku mengeras. "Bayangkan apa yang Esme rasakan hari itu. Setiap harinya!"

Berhenti di situ, jalang.

Frasa itu segera memangkas seluruh benang emosional dan sekarang, aku benar-benar terdesak untuk bertindak secara impulsif. Aku menoleh tajam, kedua tangan di sisi badan mengepal murka, buku-buku memutih kentara. Selalu ada demarkasi yang tidak bisa dilewati siapa pun, dan Catriona jelas telah melintas tanpa sebuah konsesi.

Rasa sakit, patah hati, duka, kesedihan dan amarah yang terpendam lama berintegrasi sepenuhnya. Tremor di badanku bukan disebabkan oleh takut atau temperatur yang beku, melainkan vibrasi murni dilapisi dengan keinginan untuk menghabisi wanita itu.

QuarterbackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang