"Dek nanti sore Umi dan Abi ada undangan walimahan anak sahabat. Adik ikut ya, daripada di rumah sendirian." Pinta umi saat ku baru pulang dari mengajar."Walimahan siapa umi?" Tanyaku seraya meletakkan tas kerjaku diatas meja.
"Reina, putrinya ustadz Arsyad. Kamu ingat?" Jawabnya.
Aku hanya mengangguk mengiyakan, sambil ngeloyor masuk ke kamar.
***
Sebenarnya aku enggan ikut Umi dan Abi menghadiri walimahan itu. Aku belum mampu menguatkan hati bertemu dengan sahabat-sahabat beliau. Aku hanya takut sakit hati ketika mereka bertanya
'kapan giliranmu?'
'kamu nyusul kapan?'
'jangan ditunda-tunda keburu tua'Ya salam, memang mereka pikir aku gak mau apa nikah. Mau banget malah. Tapi aku harus bagaimana? aku hanya seorang perempuan yang menunggu datangnya pria yang sudi meminang. Kalau belum ada bukankah aku hanya bisa pasrah akan takdirNya?
Meski sebenarnya ada beberapa yang datang meminang, tapi aku belum bisa menerimanya karena masih terikat janji dengan seseorang.
Kubergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Meski rasa takut menggelayuti, aku tak mau mengecewakan orang tuaku dengan tidak menghadiri walimahan itu.
***
Pukul 16.00 kami sampai ke tujuan. Suasana ramai nan meriah begitu terasa. Hati mulai was-was, rasa nyaman yang tadi dirasakan saat perjalanan hilang begitu saja.Ya Rabb bantulah hamba dalam situasi seperti ini. Mudahkanlah lisan hamba dalam menjawab setiap pertanyaan yang akan terlontar dari mulut-mulut yang nakal.
"Tenanglah, ada Umi dan Abi disini menemanimu." Ucap umiku, seakan ia mengerti kegelisahan ku.
Ah aku lupa, bukankah seorang ibu akan selalu mengetahui apapun yang dirasakan putra-putrinya?
Kuberikan senyum terbaik untuk beliau. Aku yakin mampu mengatasi ini. Sudah biasa bukan?
Umi menggandeng ku berjalan memasuki gedung tempat walimahan itu diadakan. Sentuhan lembutnya di punggung tanganku sungguh menenangkan jiwa.
Kami berjalan menuju panggung yang disulap begitu indah. Tempat kedua mempelai menyalami tamu-tamu yang datang untuk memberikan doa terbaik bagi pernikahan mereka.
"Barakallahulaka wabainakuma fi khoir" ucap Abi kepada kedua mempelai yang dijawab dengan ucapan terimakasih.
"Mbak Yanti, bener ini Mbak Yanti kan?" Sapa seseorang kepada umiku.
"Mbak Santi, maa syaa Alloh lama sekali kita gak jumpa ya, apa kabar?" Umi mengucapkannya sambil mereka berpelukan sangat erat.
"Alhamdulillah baik mbak." Mereka melanjutkan obrolan tanpa mengindahkan ku, Umipun seakan lupa akan hadirku.
Sedangkan Abi sejak turun dari panggung kebesaran tadi beliau ijin menemui teman-temannya dan belum kembali sampai sekarang.
Karena bosan mendengar kehebohan antara dua sahabat yang sudah lama tak jumpa ini, akhirnya aku memutuskan untuk berjalan-jalan menikmati keindahan dekorasi ruangan yang sangat indah.
Entah sudah sejauh mana aku berjalan meninggalkan umiku tanpa pamit. Dekorasi dengan bunga berwarna-warni yang menghiasi setiap dinding memanjakan siapa saja yang memandangnya.
Seakan terhipnotis oleh pemandangan indah yang terpampang didepan mata, aku lupa dimana keberadaan umiku. Karena tempat ini sangat luas dan tamu yang berkunjung sangat banyak, aku bingung.
'Astaghfirullah Umi tadi dimana' tanyaku dalam hati. Saat merasakan kebingunganku, aku mendengar seseorang meneriakkan namaku.
"Hei, Rahma!"
Aku berbalik ke arah suara, betapa terkejutnya melihat segerombolan wanita dengan segala dandanannya yang luar biasa.