7. Monyet dan Unta

18.7K 2K 78
                                    

Happy reading 🤗
.
.
.

Guys, aku kasih tahu, ya. Kita sebagai manusia, terutama perempuan, memang harus membiasakan untuk tidak terlalu memiliki tingkat kepercayadirian yang tinggi. Karena kalau semuanya tidak sesuai ekspektasimu, itu rasanya akan sakit. Dan malu.

Seperti yang aku alami saat ini. Kalau dipikir-pikir lagi, siapa pun yang tadi melihat tatapan siap perang Athar pada Bangcat, pasti langsung menebak jika selanjutnya anak itu akan memusuhinya. First impression itu sangat berpengaruh, bukan?

Nyatanya, jauh dari dugaan. Setelah Bangcat berjongkok di depannya, lalu memperkenalkan diri dengan gaya sok akrab, eh mereka jadi akrab sungguhan. Bahkan mereka akhirnya sibuk menjajal beberapa wahana di Timezone berdua. Dan yang membuat mulutkusampai menganga, bocah cilik itu dengan seenaknya membatalkan acara nonton demi bisa main bersama 'Om' barunya. Tidak bisa dipercaya!

"Onta lama!"

Athar langsung mengejek, begitu aku kembali ke tempat main mereka, setelah pamit ke toilet sebentar. Mereka sedang main wahana Street Basketball Hide. Hanya Bangcat saja yang lempar-lempar bola, Athar cukup jadi tim hore.

"Aunty kan cewek. Harus benerin make up dulu, dong," balasku.

Athar mencebikkan bibir, mengamati wajahku dengan lekat hingga kepalanya sedikit miring. "Digambar pakai krayon-krayon gitu kan?"

Aku memutar bola mata. "Terserah deh mau sebut apa."

Athar geleng-geleng kepala. "Kok malah jadi jelek? Kayak badut!"

Mataku melotot. Badut, bocil ini bilang? Wah wah wah! "Ngawur. Aunty nggak kayak badut, ya. Tanya aja Om Tompel sama Kak Dewa."

"Orang Omtom yang bilang gitu kok. Kak Dewa malah bilangnya kayak ondel-ondel."

Suara batuk yang jelas dibuat-buat, langsung terdengar. Saat menoleh, aku memergoki Bangcat yang menutup mulut dengan kepalan tangan. Dia menahan tawa. Sialan!

"Udah ah, Aunty mau pulang aja. Mau cari keponakan yang ganteng, imut dan nggak tukang ngejek." Aku membalikkan badan, pura-pura mau pergi.

"Yee, dasar cewek. Ngambekan!"

Badanku berbalik lagi. Entah seberapa besar lebar kelopak mataku sekarang. Athar menjulurkan lidah, mengolok. Bahkan Bangcat kali ini tidak mau repot-repot menahan tawa. Sabar, Nes, sabar.

"Ayo dong, Omdev, lempar lagi. Harus berhasil biar poinnya nambah!"

Dan mereka tidak lagi memedulikanku. Kembali larut dalam keasyikan seolah aku hanya makhluk tak kasat mata. Bukannya berharap sekali untuk diperhatikan sih, tapi aku di sini harus melakukan apa, coba? Masa nonton mereka?

Dengan cemberut, aku melangkah ke arah mesin pencapit boneka tak jauh dari mereka. Sejak dulu kala jaman aku masih memakai seragam putih merah, tidak pernah sekali pun aku berhasil membawa pulang boneka. Selalu saja gagal. Tapi entah kenapa, setiap main ke game center seperti ini, pencapit boneka tidak pernah kulewatkan. Meskipun ujung-ujungnya jadi mencak-mencak dan memaksa Dio bertanggung jawab dengan membelikan saja di toko boneka. Lebih praktis.

"Please...." Aku bergumam, sambil mengarahkan pencapit ke sebuah boneka Minion. Menarik napas dalam-dalam, lalu mengangkatnya dan ... "Argh!"

Ini sudah tiga kali percobaan dan gagal lagi. Gila. Susah sekali permainan ini. Siapa sih yang menciptakan? Maksudnya apa bikin game menyebalkan ini?

"Yah, cemen. Masa gitu aja nggak bisa?"

Aku menoleh. Athar sudah berdiri di sebelahku, lengkap dengan ekspresi songongnya. Dan Bangcat berdiri di sebelahnya lagi.

Aww-dorable You (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang